Monday, October 21, 2013

Teori Kecerdasan Emosional

Hakikat Kecerdasan Emosional
Menurut Daniel Goleman Kedecerdasan emosional merupakan kemampuan untuk menggali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemamapuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain. kecerdasan emosional mencakup kemampuan-kemampuan yang berbeda, tetapi saling melengkapi, dengan kecerdasan akademik, yaitu kemampuan-kemampuan kognitif yang diukur dengan IQ. Meskipun IQ tinggi, apabila kecerdasan emosionalnya rendah tidak banyak membantu. Banyak orang yang cerdas, dalam arti terpelajar, tetapi tidak mempunyai kecerdasan emosi, ternyata bekerja menjadi bawahan orang yang IQ-nya lebih rendah tetapi unggul dalam keterampilan pengelolaan emosi atau kecerdasan emosionalnya.[1]


Kecerdasan emosional bukanlah muncul dari pemikiran intelek yang jernih, tetapi dari pekerjaan manusia. EQ bukanlah tentang trik-trik sebuah penjualan atau menata sebuah ruangan. EQ bukanlah tentang memakai topeng kemunafikan atau penggunaan psikologi untuk mengendalikan, mengeksploitasi, atau memanipulasi seseorang. Kata emosi bisa secara sederhana didefinisikan menerapkan “gerakan”, baik secara metafora atau harfiah, untuk mengeluarkan perasaan.
Kecerdasan emosional yang memotivasi kita untuk mencari manfaat dan potensi unik kita, mengaktifkan aspirasi dan nilai-nilai kita yang paling dalam, mengubahnya dari apa yang kita pikirkan menjadi apa yang kita jalani. Emosi sejak lama memilki kedalaman dan kekuatan sehingga dalam bahasa latin, misalnya, emosi dijelaskan sebagai motus anima yang harfiahnya “jiwa yang menggerakan kita”[2] Pada kenyataannya, perasaan memberi kita informasi penting dan berpotensi menguntungkan setiap saat. Umpan balik inilah dari hati bukan kepala yang menyalakan kreativitas, membuat kita jujur pada diri kita, menjalin hubungan yang saling mempercayai, memberikan panduan nurani bagi hidup dan karir, menuntun kita pada kemungkinan yang tak terduga, dan malah dapat menyelamatkan kita atau organisasi dari kehancuran.
Kecerdasan emosional menuntut kita untuk belajar mengakui dan menghargai perasaan pada diri kita dan orang lain dan untuk menanggapinya dengan tepat, menerapkan dengan efektif informasi dan energi emosi dalam kehidupan dan pekerjaan sehari-hari. Definisi lengkapnya, Kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi dan pengaruh yang manusiawi.
Emosi adalah sumber energi, pengaruh dan informasi yang bersifat batiniah. Emosi , entah yang bersifat baik atau yang buruk, sudah ada sejak lahir. Yang membedakan hasilnya adalah apa yang kita perbuat dengan menggunakan informasi dan energi dari situ. Belajar membedakan perasaan yang lebih dalam dari rangsangan informasi yang menghujani anda setiap hari  merupakan persyaratan bila anda ingin menjadi seorang pemimpin. Bila anda sudah sadar tentang keadaan emosi anda, berarti anda bisa menikmati luwesnya respons anda.
Kecerdasan emosinal adalah kemampuan mengindra, memahami dengan efektif menerapkan kekuatan dan ketajaman emosi, sebagai sumber energi, informasi dan pengaruh. Emosi manusia adalah wilayah dari perasaan lubuk hati, naluri tersembunyi, dan sensasi emosi. Apabila dipercayai dan dihormati, kecerdasan emosional menyediakan pemahaman yang lebih mendalam dan lebih utuh tentang diri sendiri dan orang lain disekitar kita.[3]
Oxford English Dicnitary mendefinisikan Emosi  sebagai “ setiap kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu; setiap keadaan mental yang hebat atau meluap – luap”. Daniel Goleman menganggap emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran – pikiran khasnya, suatu keadaan biologis dan psikologis, dan serangkaian untuk bertindak. Ada ratusan emosi bersama dengan campuran, variasi, mutasi, dan nuansanya. Sejumlah teoritikus mengelompokkan emosi dalam golongan – golongan besar yaitu :
a.    Amarah: beringas, mengamuk, benci, marah besar, jengkel, kesal hati, terganggu, rasa pahit, tersinggung, bermusuhan, dan barangkali yang paling hebat, tindak kekerasan  dan kebencian patologis.
b.    Kesedihan: pedih, sedih, muram, suram, melankolis, mengasihani diri, kesepian, ditolak, putus asa, dan kalau menjadi patologis, depresi berat.
c.    Rasa takut: cemas, takut, gugup, khawatir, was-was perasaan takut sekali, waspada, sedih, tidak tenang, ngeri, takut sekali, kecut, sebagai patologi, fobia dan panik.
d.    Kenikmatan: bahagia, gembira, ringan, puas, riang senang, terhibur, bangga, kenikmatan indrawi, takjub, rasa terpesona, rasa puas, rasa terpenuhi, kegirangan luar biasa, senang sekali, dan batas ujungnya, maniak.
e.    Cinta: penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat, bakti, hormat, kasmaran, kasih.
f.     Terkejut: terkejut, terkesima, takjub, terpana.
g.    Jengkel: hina, jijik, muak, mual, benci, tidak suka, mau muntah.
h.    Malu: rasa salah, malu hati, kesal hati, sesal, hina, aib, dan hati hancur lebur.[4]
            Sebuah kerugian buta akan emosi adalah sebagai contoh suatu pagi, karena kawatir Ian dan Tyrone akan memukulinya, khalil membawa sepucuk pistol kaliber 0.38 ke sekolah dan lima meter dari seorang penjaga sekolah, ia menembak kedua anak itu hingga tewas dari jarak dekat di lorong sekolah. Peristiwa yang betul  - betul mengerikan itu dapat dipakai sebagai pertanda amat dibutuhkanya pelajaran dalam menangani emosi, menyelesaikan pertengkaran secara damai, dan bergaul biasa.para pendidik, yang biasanya mencemaskan nilai buruk anak – anak dalam bidang matematika dan membaca, mulai menyadari bahwa ada kekurangan lain yang lebih mencemaskan: buta emosi dan sementara usaha – usaha terpuji untuk meningkatkan standar akademis sedang dilakukan, kekurangan baru dalam kurikulum sekolah yang baku.seperti yang dikemukakan oleh salah seorang guru Brooklyn, sekarang ini tekanan yang diberikan kepada sekolah mengisyaratkan kita lebih prihatin pada seberapa baik kemampuan anak membaca dan menulis dari pada apakah mereka masih akan hidup minggu depan.[5]
            Ekman berpendapat bahwa, secara teknis memuncaknya emosi berlangsung amat singkat, hanya hitungan detik bukanya  dalam hitungan menit, jam, atau hari. Alasan Ekman adalah amatlah tidak baik bagi emosi menguasai otak dan tubuh selama waktu yang panjang tanpa memperdulikan lingkungan yang berubah. Apabila sebuah emosi yang disebabkan oleh emosi tunggal mau tak mau berlangsung menguasai kita setelah peristiwa itu berlalu dan tanpa mengingat hal lain yang terjadi disekitar kita, berarti perasaan kita bukanlah panduan yang baik dalam mengambil tindakan.agar emosi berlangsung lebih lama maka pemicunya tersebut harus tetap dipertahankan, sehingga emosi tersebut dapat bertahan, seperti apabila kita ditinggalkan orang yang kita cintai membuat kita berkabung terus.[6]
            Keterampilan Emosional itu mencakup kesadaran diri, mengidentifikasi, mengungkapkan dan mengelola perasaan, mengendalikan dorongan hati dan menunda pemuasan, serta menangani stres dan kecemasan. Sebuah kemampuan penting untuk mengendalikan dorongan  hati adalah mengetaui perbedaan antara perasaan dan tindakan, dan belajar membuat keputusan emosional yang lebih baik dengan terlebih dahulu mengendalikan dorongan untuk bertindak, kemudian mengidentifikasi tindakan alternatif serta konsekuensi sebelum bertindak. Bannyak keterampilan yang merupakan keterampilan antarpribadi : membaca isyarat emosional dan sosisal, mendengarkan, mampu menahan pengaruh buruk, menerima sudut pandang orang lain, dan memahami tingkahlaku mana yang dapat diterima dalam situasi tertentu.[7]
            Ciri ciri kecerdasan emosional adalah kemampuan seperti kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi; mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan; mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berfikir; berempati dan berdoa.[8]
Salovey menempatkan kecerdasan pribadi Gartner dalam definisi dasar ini menjadi lima wilayah utama:
a.    Mengenali emosi diri. Kesadaran diri mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi yaitu kemampuan untuk memantau perasaan dari waktu ke waktu merupakan hal penting bagi wawasan psikologi dan pemahaman diri. Ketidakmampuan untuk mencermati perasaan kita sesungguhnya membuat kita dalam kekuasaan perasaan. Orang yang yang memiliki keyakinan yang lebih tentang perasaannya adalah pilot yang andal bagi kehidupan mereka, karena mempunyai kepekaan lebih tinggi akan perasaan mereka yang sesunggunya atas pengambilan-pengambilan keputusan masalah pribadi.
b.    Mengelola emosi. Menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan pas adalah kecakapan yang bergantung pada kesadaran diri. Kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan, atau ketersinggungan dan akibat-akibat yang timbul karena gagalnya keterampilan emosional dasar ini. Orang-orang yang buruk kemampuanya dalam keterampilan ini akan terus-menerus bertarung melawan perasaan murung, sementara mereka yang pintar dapat bangkit kembali dengan jauh lebih cepat dari kemerosotan dan kejatuhan dalam kehidupan.
c.    Memotivasi diri sendiri. Menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan adalah hal yang sangat penting dalam kaitan untuk memberi perhatian, memotivasi diri sendiri dan menguasai diri sendiri, dan untuk berkreasi.  Kendali diri emosional menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati adalah landasan keberhasilan dalam berbagai bidang. Mampu menyesuaikan diri dan memungkinkan terwujudkannya kinerja yang tinggi dalam berbagai bidang. Orang-orang yang memiliki keterampilan ini cenderung jauh lebih produktif dan efektif dalam hal apapun yang mereka kerjakan.[9]
d.    Mengenali emosi orang lain. Empati, kemampuan yang juga bergantung pada kesadaran diri emosional, merupakan “keterampilan bergaul” empati, biaya sosial akibat ketidakpedulian secara emosional, dan alasan-alasan mengapa empati memupuk altuisme. Orang yang empatik lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersebembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan atau dikehendaki orang lain. Orang-oarang seperti ini cocok untuk pekerjaan-pekerjaan keperawatan, mengajar, penjualan, dan mmanajemen.
e.    Membina hubungan. Seni membina hubungan, sebagian besar merupakan keterampilan mengelola emosi orang lain, karena ini merupakan keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan, dan keberhasilan antarpribadi. Oranag-orang yang hebat dalam keterampilan ini akan sukses dalam bidang apapun yang mengandalkan pergaulan yang mulus dengan orang lain; mereka adalah bintang-bintang pergaulan.[10]
            Hatch dan Gardner mendefinisikan empat komponen-komponen kecerdasan antar pribadi :
a.    Mengkoorganisir kelompok, yaitu keterampilan esensial sseorang pemimpin, ini menyangkut memprakarsai dan mengkoordinasi upaya menggerakkan orang.
b.    Merundingkan pemecahan, bakat seorang mediator, yang mencegah konflik atau menyelesaikan konflik-konflik yang meletup.
c.    Hubungan pribadi, yaitu empati dan menjalin hubungan. Bakat ini memudahkan untuk masuk kedalam lingkup pergaulan atau untuk mengenali dan merespon dengan tepat akan perasaan dan keprihatinan orang lain.
d.   Analisis sosial, mampu mendeteksi dan mempunyai pemahaman tentang perasaan, motif, dan keprihatinan orang lain.
            Penguasaan diri, yaitu kemampuan untuk menghadapi badai emosional yang dibawa oleh sang nasib, dan bukannya menjadi “budak nafsu”, telah dijunjung tinggi sejak zaman Plato. Kata yunani kuno untuk kemampuan ini adalah soprhosyne, “hati-hati dan cerdas dalam mengatur kehidupan; keseimbangan dan kebijaksanaan yang terkendali”, sebagaiman diterjemahkan oleh Page Dubois, seorang pakar Bahasa Yunani. Orang-orang Romawi dan gereja-gereja kuno menyebutnya temperantia, kendali diri, pengendalian tindakan emosinal yang berlebihan. Tujuannya adalah keseimbangan emosi bukan menekan emosi; setiap perasaan mempunyai nilai dan makna.[11]
            Kemampuan berempati yaitu kemampuan untuk mengetahui bagaiman perasaan orang lain, ikut berperan dalam pergulatan arena kehidupan, mulai dari penjualan, manajemen, hingga asmara dan mendidik anak, dari belas kasih hingga tindakan politik. Emosi jarang diungkapkan dengan kata-kata; emosi jauh lebih sering diungkapakan dengan isyarat. Kunci untuk memahami perasaan orang lain adalah mampu membaca pesan nonverbal: nada bicara, gerak gerik,ekspresi wajah dan sebagainya.[12]
Ringkasan keterampilan-keterampilan ini merupakan unsur-unsur untuk menajamkan kemampuan antarpribadi, unsur-unsur pembentuk daya tarik , keberhasilan sosial, bahkan karisma. Orang-orang yang terampil dalam kecerdasaan sosial dapat menjalin hubungan dengan orang lain secara lancar, peka membaca reaksi dan perasaan mereka, mampu memimpin dan mengorganisir, dan pintar menangani perselisihan yang muncul dalam kegiatan manusia.[13]
Berikut ini ada sebuah srtategi tiga langkah untuk belajar mengelola energi emosi:
a.    Akui dan rasakan emosi yang anda alami jangan anda sangkal atau tekan.
b.    Dengarkan informasi atau umpan balik dibalik emosi yamg anda alami. Tannyakan kepada diri sendiri, misalnya, “Prinsip, nilai, atau sasaran apa yang akan saya pertaruhkan disini”?
c.    Arahkan, atau salurkan, energi emosi menjadi tanggapan atau reaksi tepat dan konstruktif.[14]
Untuk itu sebagaimana kebugaran tubuh mengbangun kekuatan, stamina, dan keluwesan tubuh, kebugaran emosi juga membangun sifat-sifat yang berhubungan dengan hati. Kebugaran emosi memungkinkan anda menerapkan keterampilan kesadaran emosi ke dalam praktek, mengembangkan keaslian dan sifat dapat dipercaya. Semua ini, pada giliranya, memungkinkan anda memperluas lingkaran kepercayaan anda, yang terbukti berkaitan dengan keuntungan dan keberhasilan. Melalui kebugaran emosi pula anda mendapatkan inspirasi untuk meningkatkan kemampuan anda dan apabila menjumpai kegagalan, anda lebih siap memaafkan diri sendiri dan orang lain[15]
Kebugaran emosi mendukung antusiasme, keuletan, dan “keuletan” konstruktif yang sangat tinggi dalam menghadapi tantangan dan perubahan,yang dapat menjadikan anda “tangguh” memiliki kemampuan menyesuaikan emosi dan pikiran dalam menangani tekanan dan masalah dengan cara lebih sehat, lebih terbuka, dan lebih jujur. Melalui kebugaran emosi pula kita mulai menyoroti nilai-nilai dan sifat-sifat pribadi kita yang paling dalam, dan perasaan-perasaan yang menghidupkan dan menggerakkan sifat-sifat itu. Kita hidup dan bekerja dalam iklim moral yang terus bergeser di penghujung abad kedua puluh, dan godaan untuk menyerah, untuk menuruti tuntutan atau keinginan orang lain, bisa terasa sangat menyiksa[16]
Kebugaran jasmani sangat diperlukan oleh setiap guru pendidikan jasmani di seakolah menengah pertama luar biasa tunagrahita supaya mampu memantau perubahan emosi setiap saat dan dapat memberikan pembelajaran yang maksimal.




[1] Daniel Goleman, Kecerdasan Emosional (Jakarta:PT. Gramedia Pustaka Utama 2001), h 98
[2] Robert K. Cooper dan Ayman Sawaf. Executive EQ. (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002) h.14
[3] Ibid. h 497
[4] Daniel Goleman, Kecerdasan Emosional (Jakarta:PT. Gramedia Pustaka Utama 2001),  h. 411-412.
[5] Ibid. hh 327-328
[6] Ibid h. 416
[7] Ibid. h. 369
[8]Ibid  h. 45
[9]Ibid. hh 58-59
[10] Ibid h. 57


[11] Ibid. h  77
[12] Ibid. h 136
[13] Ibid hh. 166-167
[14] Robert K. Cooper dan Ayman Sawaf. Op.cit. h 62
[15]Ibid. h 113
[16] Ibid. h 114

No comments :

Post a Comment