A. Pendahuluan
Bagi setiap pendidik, baik yang
berstatus sebagai kepala sekolah maupun sebagai guru mata pelajaran dituntut
untuk memahami konsep-konsep dasar tentang perencanaan pendidikan,
pendekatan dalam perencanaan pendidikan dan beragam model perencanaan
pendidikan. Kualitas pemahaman kepala sekolah terhadap ketiga konsep tersebut
akan berpengaruh positif terhadap pelaksanaan manajemen pendidikan di setiap
satuan pendidikan. Demikian juga bagi guru, kualitas pemahaman terhadap ketiga
konsep tersebut akan mendukung pelaksanaan empat kompetensi professional guru
dalam proses layanan pendidikan kepada peserta didik.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa
kajian tentang konsep perencanaan, pendekatan dan model perencanaan pendidikan
mempunyai ruang lingkup yang sangat luas atau kompleks. Oleh karena itu kajian
singkat berikut ini lebih menekankan pada tiga aspek, yaitu: (1) beberapa
konsep tentang perencanaan pendidikan; (2) pendekatan perencanaan pendidikan;
dan (3) beragam metode dan model perencanaan pendidikan. Sedangkan tujuan yang
hendak diraih dari kajian singkat ini adalah diharapkan kajian singkat ini
dapat memberikan informasi awal bagi para peminat kajian tentang perencanaan
pendidikan, dan terus termotivasi untuk meningkatkan pemahamanan lebih lanjut
pada sumber-sumber ilmiah lainnya.
B. Beberapa
Konsep Tentang Perencanaan Pendidikan
Ada tujuh konsep penting yang perlu
dipahami, dalam mengawali kajian atau pembahasan tentang konsep perencanan
pendidikan, antara lain: (1) pengertian perencanaan pendidikan; (2) tujuan
perencanaan pendidikan; (3) manfaat perencanaan pendidikan; (4) ruang lingkup
perencanaan pendidikan; (5) karakteristik perencanaan pendidikan; (6)
prinsip-prinsip perencanaan pendidikan; dan (7) proses atau tahapan penyusunan
perencanaan pendidikan. Berikut ini akan dijelaskan secara singkat
ketujuh konsep tersebut di atas.
Pengertian perencanaan pendidikan
Pengertian
perencanaan, dan pengertian perencanaan pendidikan. Ada beragam pengertian perencanaan
yang telah dikemukakan oleh para ahli, antara lain menurut: (1) Bintoro
Tjokroaminoto, perencanaan adalah ‘proses mempersiapkan kegiatan-kegiatan
secara sistematis yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu; (2)
Prajudi Atmosudirdjo, perencanaan adalah ‘perhitungan dan penentuan tentang
sesuatu yang akan dijalankan dalam rangka mencapai tujuan tertentu, siapa yang
melakukan, bilamana, dimana dan bagaimana cara melakukannya; (3) Handoko,
perencanaan adalah meliputi: (a) pemilihan atau penetapan tujuan-tujuan
organisasi; dan (b) penentuan strategi, kebijakan, proyek, program, prosedur,
metode, sistem, anggaran dan standar yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan; (4)
Husaini Usman, perencanaan adalah kegiatan yang akan dilakukan dimasa
yang akan datang untuk mencapai tujuan; (5) Coombs, perencanaan pendidikan
adalah ‘suatu penerapan yang rasional dari analisis sistematis proses
perkembangan pendidikan dengan tujuan agar pendidikan itu lebih efektif dan efisien
serta sesuai dengan kebutuhan dan tujuan para peserta didik dan masyarakatnya;
dan (6) Sa’ud dan Makmun, perencanaan pendidikan adalah ‘suatu kegiatan melihat
masa depan dalam hal menentukan kebijakan, prioritas dan biaya pendidikan
dengan memprioritaskan kenyataan yang ada dalam bidang ekonomi, sosial dan
politik untuk mengembangkan sistem pendidikan negara dan pesera didik yang
dilayani oleh sistem tersebut (Sa’ud, S. dan Makmun A,S. 2007; Usman, H. 2008).
Dari beberapa definisi tentang
perencanaan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep yang ada
dalam pengertian perencanaan pendidikan adalah: (1) suatu rumusan rancangan
kegiatan yang ditetapkan berdasarkan visi, misi dan tujuan pendidikan;
(2) memuat langkah atau prosedur dalam proses kegiatan untuk mencapai
tujuan pendidikan; (3) merupakan alat kontrol pengendalian perilaku warga
satuan pendidikan (kepala sekolah, guru, karyawan, siswa, komite sekolah); (4)
memuat rumusan hasil yang ingin dicapai dalam proses layanan pendidikan kepada
peserta didik; dan (5) menyangkut masa depan proses pengembangan dan
pembangunan pendidikan dalam waktu tertentu, yang lebih berkualitas.
Tujuan Perencanaan Pendidikan
Tujuan
perencanaan pendidikan. Ada
beberapa tujuan perlunya penyusunan suatu perencanaan pendidikan, antara lain:
(1) untuk standar pengawasan pola perilaku pelaksana pendidikan, yaitu untuk
mencocokkan antara pelaksanaan atau tindakan pemimpin dan anggota organisasi
pendidikan dengan program atau perencanaan yang telah disusun; (2) untuk mengetahui
kapan pelaksanaan perencanaan pendidikan itu diberlakukan dan bagaimana proses
penyelesaian suatu kegiatan layanan pendidikan; (3) untuk mengetahui siapa saja
yang terlibat (struktur organisasinya) dalam pelaksanaan program atau
perencanaan pendidikan, baik aspek kualitas maupun kuantitasnya, dan baik
menyangkut aspek akademik-nonakademik; (4) untuk mewujudkan proses kegiatan
dalam pencapaian tujuan pendidikan secara efektif dan sistematis termasuk biaya
dan kualitas pekerjaan; (5) untuk meminimalkan terjadinya beragam kegiatan yang
tidak produktif dan tidak efisien, baik dari segi biaya, tenaga dan waktu
selama proses layanan pendidikan; (6) untuk memberikan gambaran secara
menyeluruh (integral) dan
khusus (spefisik) tentang jenis
kegiatan atau pekerjaan bidang pendidikan yang harus dilakukan; (7) untuk
menyerasikan atau memadukan beberapa sub pekerjaan dalam suatu organisasi
pendidikan sebagai ‘suatu sistem’;
(8) untuk mengetahui beragam peluang, hambatan, tantangan dan kesulitan yang
dihadapi organisasi pendidikan; dan (9) untuk mengarahkan proses
pencapaikan tujuan pendidikan (Dahana, OP and Bhatnagar, OP. 1980;
Banghart, F.W and Trull, A. 1990; Sagala, S. 2009).
Manfaat perencanaan pendidikan
Manfaat
perencanaan pendidikan. Menurut
para ahli, ada beberapa manfaat dari suatu perencanaan pendidikan yang disusun
dengan baik bagi kehidupan kelembagaan, antara lain: (1) dapat digunakan
sebagai standar pelaksanaan dan pengawasan proses aktivitas atau pekerjaan
pemimpin dan anggota dalam suatu lembaga pendidikan; (2) dapat dijadikan
sebagai media pemilihan berbagai alternatif langkah pekerjaan atau strategi
penyelesaian yang terbaik bagi upaya pencapaian tujuan pendidikan; (3) dapat
bermanfaat dalam penyusunan skala prioritas kelembagaan baik yang menyangkut
sasaran yang akan dicapai maupun proses kegiatan layanan pendidikan; (4) dapat
mengefisiensikan dan mengefektifkan pemanfaatan beragam sumber daya organisasi
atau lembaga pendidikan; (5) dapat membantu pimpinan dan para anggota (warga
sekolah) dalam menyesuaikan diri terhadap perkembangan atau dinamika perubahan
sosial-budaya; (6) dapat dijadikan sebagai media atau alat untuk
memudahkan dalam berkoordinasi dengan berbagai pihak atau lembaga pendidikan
yang terkait, dalam rangka meningkatkan kualitas layanan pendidikan; (7) dapat
dijadikan sebagai media untuk meminimalkan pekerjaan yang tidak efisien atau
tidak pasti; dan (8) dapat dijadikan sebagai alat dalam mengevaluasi pencapaian
tujuan proses layanan pendidikan (Depdiknas. 1997; Soenarya, E. 2000; Depdiknas,
2001).
Ruang lingkup perencanaan pendidikan
Ruang
lingkup perencanaan pendidikan mempunyai jangkauan yang cukup luas, dan
dapat ditinjau dari berbagai aspek, antara lain:
1.
Ditinjau
dari aspek spasialnya, yaitu perencanaan
pendidikan yang memiliki karakter yang terkait dengan ruang, tempat atau
batasan wilayah. Perencanaan ini dapat terbagi menjadi: (1) perencanaan
pendidikan nasional, yaitu mencakup seluruh proses usaha layanan pendidikan
yang dilakukan oleh pemerintah pusat, yang bertujuan untuk mencapai tujuan
pendidikan nasional, yang meliputi seluruh jenjang pendidikan dari tingkat
dasar sampai perguruan tinggi, yang diatur dalam sistem pendidikan nasional
(sispenas) melalui Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional; (2) perencanaan
pendidikan regional, yaitu perencanaan pendidikan yang dibuat dan diberlakukan
dalam wilayah regional tertentu, misalnya perencanaan pengembangan layanan
pendidikan tingkat Propinsi dan Kabupaten/ Kota, yang menyangut seluruh jenis
layanan pendidikan di semua jenjang untuk daerah atau propinsi tertentu; (3)
perencanaan pendidikan kelembagaan, yaitu perencanaan pendidikan yang mencakup
satu institusi atau lembaga pendidikan tertentu, misalnya perencanaan
pengembangan layanan pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) ‘Mandiri’ kota
‘Maju’ tahun 2010, perencanaan Universitas ‘Citra Bangsa’, dan sejenisnya.
1.
Dintinjau
dari aspek sifat dan karakteristik modelnya, dapat
dibagi menjadi: (1) perencanaan pendidikan terpadu (integrated educational
planning), yaitu perencanaan pendidikan yang mencakup seluruh aspek yang
terkait dengan proses pembangunan pendidikan yang esensial (mendasar), dalam
koridor perencanaan pembangunan nasional, dalam hal ini perencanaan pendidikan
ada keterpaduan atau keterkaitan secara sistemik dengan perencanaan pembangunan
bidang ekonomi, politik, hukum dan sebagainya; (2) perencanaan pendidikan
komprehensif (comprehension
educational planning), yaitu perencanaan pendidikan yang disusun secara
sistematik, rasional, objektif yang menyangkut keseluruhan konsep penting dalam
layanan pendidikan, sehingga perencanaan itu memberikan suatu pemahaman yang
lengkap atau sempurna tentang ‘apa’ dan ‘bagaimana’ memberikan layanan
pendidikan yang berkualitas; (3) perencanaan pendidikan strategik (strategic educational planning),
yaitu perencanaan pendidikan yang mengandung pokok-pokok perencanaan untuk
menjawab persoalan atau opini, atau isu mutakhir yang dihadapi oleh dunia
pendidikan, misalnya, persoalan yang dihadapi dunia pendidikan sekarang adalah
masalah ‘tranformasi teknologi’, atau masalah ‘rendahnya kualitas guru’, atau
masalah ‘keterkaitan antara dunia usaha dengan output lulusan’, dan sebagainya. Jadi, perencanaan ini
menyangkut beragam strategi untuk menghadapi persoalan yang muncul.
2.
Ditinjau
dari aspek waktunya.
Perencanaan pendidikan terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu: (1) perencanaan
pendidikan jangka panjang (long term
educational planning), yaitu perencanaan pendidikan yang disusun
dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun ke atas, isi perencanaan jangka panjang
ini belum ditampilkan sasaran yang bersifat kuantitatif, melainkan dalam bentuk
proyeksi atau perspektif atas keadaan ideal yang diinginkan dalam pembangunan
pendidikan. Contoh, program pendidikan nasional dalam sistem pendidikan
nasional; (2) perencanaan pendidikan jangka menengah (medium term
educational planning), yaitu perencanaan pendidikan yang disusun dalam
jangka waktu antara tiga sampai delapan tahun (perencanaan untuk empat atau
lima tahun atau satu periode kepemimpinan). Perencanaan jangka menengah
merupakan penjabaran lebih kongkrit dari perencanaan jangka panjang, yang sudah
merumuskan sasaran atau tujuan yang secara kuantitatif akan dicapai; dan (3)
perencanaan pendidikan jangka pendek (short
term educational planning), yaitu perencanaan pendidikan yang disusun
dalam jangka waktu maksimal satu tahun. Perencanaan ini sering disebut
perencanaan operasional tahunan (annual
operational planning), yang memuat langkah-langkah strategis dan operasional
sehari-hari, yang merupakan penjabaran lebih rinci dan aplikatif dari
perencanaan jangka memengah.
3.
Ditinjau
dari aspek tingkatan teknis
perencanaan. Perencanaan ini dibedakan menjadi: (1) perencanaan
pendidikan makro, yaitu perencanaan pendidikan yang bersifat nasional atau
sering disebut dengan perencanaan pendidikan nasional, yang berlaku di seluruh
negara kesatuan RI dari jenjang pendidikan dasar sampai perguruan tinggi.
Perencanaan pendidikan makro ini disebut juga dengan ‘sistem pendidikan nasional’
(Sispenas); (2) perencanaan pendidikan mikro, yaitu perencanaan pendidikan yang
disusun dan disesuaikan dengan kondisi otonomi daerah masing-masing. Dalam
perencanaan pendidikan mikro, secara teknis perlu memperhatikan: (a) ketentuan/
standar; (b) kondisi geografis dan demografis; dan (c) infrastruktur yang ada
di daerah, sedangkan secara non teknis perlu memperhatikan: (a) aspirasi dan
peran serta masyarakat terhadap pendidikan; (b) kondisi sosial, ekonomi,
budaya, politik dan kamanan daerah; (3) perencanaan pendidikan sektoral, yaitu
kumpulan program atau kegiatan pendidikan yang menekankan pada sektor tertentu,
namun tetap ada keterkaitan dengan sektor lainnya; (4) perencanaan pendidikan
kawasan, yaitu perencanaan pendidikan yang memperhatikan kawasan lingkungan
tertentu sebagai pusat kegiatan pendidikan, misalnya perencanaan pendidikan
kawasan pesisir, kawasan pinggiran kota; (5) perencanaan pendidikan proyek,
yaitu perencanaan operasional yang menyangkut implementasi kebijakan untuk
mencapai tujuan, misalnya perencanaan proyek unik sekolah baru SMK.
4.
Ditinjau
dari aspek jenis perencanaan. Perencanaan
pendidikan ini dibedakan menjadi: (1) perencanaan pendidikan dari
atas ke bawah (top down educational
planning), perencanaan ini sering disebut juga perencanaan pendidikan
makro atau perencanaan pendidikan nasional; (2) perencanaan pendidikan dari
bawah ke atas (bottom up
educational planning), yaitu perencanaan pendidikan yang dibuat oleh
tenaga perencana dari tingkat bawah kemudian disampaikan ke pusat, misalnya
perencanaan yang dibuat oleh guru, kepala sekolah, Dinas Pendidikan kemudian
disampaikan ke Kementrian Pendidikan Nasional; (3) perencanaan pendidikan
menyerong dan menyamping (diagonal educational planning), perencanaan
ini sering disebut perencanaan sektoral, yaitu perencanaan yang melibatkan
kerjasama antar departemen atau lembaga, misalnya, lembaga Kementrian
Pendidikan Nasional dengan Bappeda Propinsi; (4) perencanaan pendidikan
mendatar (horizontal educational planning), yaitu
perencanaan pendidikan yang dibuat dengan menjalin kerjasama antar lembaga atau
departemen yang sederajat, misalnya perencanaan pendidikan antara kementrian
pendidikan dan kementrian agama dan kementrian sosial; (5) perencanaan
pendidikan menggelinding (rolling educational planning), yaitu
perencanaan pendidikan yang dibuat oleh pejabat yang berwenang dalam bentuk
perencanaan jangka pendek, menengah dan panjang; (6) perencanaan pendidikan
gabungan atas ke bawah dan bawah ke atas (top down and bottom up educational planning), yaitu
perencanaan pendidikan yang mengintegrasikan atau mengakomodasi kepentingan
pusat dan daerah (lokal) (Oliver, Paul, ed. 1996; Usman, H. 2008).
Karakteristik perencanaan pendidikan
Karakteristik
perencanaan pendidikan. Berdasarkan
beberapa pengertian, tujuan, manfaat, dan ruang lingkup perencanaan pendidikan
tersebut di atas, maka ciri-ciri (karakteristik) suatu perencanaan pendidikan
antara lain, perencanaan pendidikan harus: (1) berorientasi pada visi, misi
kelembagaan yang akan diwujudkan; (2) mempunyai tahapan program jangka waktu
tertentu (jangka pendek, menengah dan panjang) yang akan dicapai secara
berkesinambungan; (3) mengutamakan nilai-nilai manusiawi, kerena pendidikan itu
membangun manusia yang berkualitas, yang bermanfaat bagi dirinya dan
masyarakatnya; (4) memberikan kesempatan untuk mengembangkan segala potensi
peserta didik secara maksimal; (5) komprehensif dan sistematis dalam arti tidak
praktikal atau segmentasi tetapi menyeluruh, terpadu (integral) dan disusun secara logis, rasional serta mencakup
berbagai jalur, jenis dan jenjang pendidikan; (6) diorientasikan untuk
mempersiapkan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, yang sanggup
mengisi berbagai sektor pembangunan; (7) dikembangkan dengan memperhatikan
keterkaitannya dengan berbagai komponen pendidikan secara sistematis; (8)
menggunakan sumber daya (resources) internal
dan eksternal secermat mungkin; (9) berorientasi kepada masa datang, karena
pendidikan adalah proses jangka panjang dan jauh untuk menghadapi berbagai
persoalan di masa depan; (10) responsif terhadap kebutuhan yang berkembang di
masyarakat dan bersifat dinamik; dan (11) merupakan sarana untuk mengembangkan
inovasi pendidikan, sehingga proses pembaharuan pendidikan terus
berlangsung dengan baik (Banghart, F.W and Trull, A. 1990; Tilaar.H.A.R.
1998; Sa’ud, S. dan Makmun A,S. 2007).
Prinsip-prinsip perencanaan pendidikan
Prinsip-prinsip perencanaan pendidikan. Ada beberapa prinsip yang harus
diperhatikan dalam penyusunan perencanaan pendidikan, antara lain:
1. Prinsip interdisipliner, yaitu menyangkut berbagai bidang keilmuan atau
beragam kehidupan. Hal ini penting karena hakikat layanan pendidikan kepada
peserta didik harus menyangkut berbagai jenis pengetahuan, beragam ketrampilan
dan nilai-norma kehidupan yang berlaku di masyarakat.
2. Prinsip
fleksibel, yaitu
bersifat lentur, dinamik dan responsif terhadap perkembangan atau perubahan
kehidupan di masyarakat. Hal ini penting, karena hakikat layanan pendidikan
kepada peserta didik adalah menyiapkan siswa untuk mampu menghadapi
perkembangan Ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) dan beragam tantangan
kehidupan terkini.
3. Prinsip
efektifitas-efisiensi,
artinya dalam penyusunan perencanaan pendidikan didasarkan pada perhitungan
sumber daya yang ada secara cermat dan matang, sehingga perencanaan itu
‘berhasil guna’ dan ‘bernilai guna’ dalam pencapaian tujuan pendidikan.
4. Prinsip
progress of change,
yaitu terus mendorong dan memberi peluang kepada semua warga sekolah untuk
berkarya dan bergerak maju ke depan dengan beragam pembaharuan layanan
pendidikan yang lebih berkualitas, sesuai dengan peranan masing-masing.
5. Prinsip
objektif, rasional dan sistematis,
artinya perencanaan pendidikan harus disusun berdasarkan data yang ada,
berdasarkan analisa kebutuhan dan kemanfaatan layanan pendidikan secara
rasional (memungkinkan untuk diwujudkan secara nyata), dan mempunyai
sistematika dan tahapan pencapaian program secara jelas dan berkesinambungan.
6. Prinsip kooperatif-komprehensif,
artinya perencanaan yang disusun mampu memotivasi dan membangun
mentalitas semua warga sekolah dalam bekerja sebagai suatu tim (team work) yang baik. Disamping itu
perencanaan yang disusun harus mencakup seluruh aspek esensial (mendasar)
tentang layanan pendidikan akademik dan non akademik setiap peserta didik.
7. Prinsip human resources development, artinya perencanaan pendidikan
harus disusun sebaik mungkin dan mampu menjadi acuan dalam pengembangan sumber
daya manusia secara maksimal dalam mensukseskan program pembangunan pendidikan.
Layanan pendidikan pada peserta didik harus betul-betul mampu membangun
individu yang unggul baik dari aspekintelektual (penguasaan science and technology), aspek emosional(kepribadian atau akhlak),
dan aspek spiritual (keimanan
dan ketakwaan) , atau disebut IESQ yang unggul (Dahana, and Bhatnagar,
1980; Banghart, F.W and Trull, A. 1990; Langgulung, H., 1992).
Proses atau tahapan penyusunan perencanaan pendidikan
Proses atau tahapan penyusunan perencanaan
pendidikan. Menurut
Banghart and Trull dalam Sa’ud (2007) ada beberapa tahapan yang semestinya
dilalui dalam penyusunan perencanaan pendidikan, antara lain:
1. Tahap need assessment,
yaitu melakukan kajian terhadap beragam kebutuhan atau taksiran yang diperlukan
dalam proses pembangunan atau pelayanan pembelajaran di setiap satuan
pendidikan. Kajian awal ini harus cermat, karena fungsi kajian akan memberikan
masukan tentang: (a) pencapaian program sebelumnya; (b) sumber daya apa yang
tersedia, dan (c) apa yang akan dilakukan dan bagaimana tantangan ke depan yang
akan dihadapi.
2. Tahap formulation of goals and objective, yaitu perumusan tujuan dan
sasaran perencanaan yang hendak dicapai. Perumusan tujuan perencanaan
pendidikan harus berdasarkan pada visi, misi dan hasil kajian awal tentang
beragam kebutuhan atau taksiran (assessment)
layanan pendidikan yang diperlukan.
3. Tahap policy and priority setting, yaitu merancang tentang rumusan
prioritas kebijakan apa yang akan dilaksanakan dalam layanan pendidikan.
Rumusan prioritas kebijakan ini harus dijabarkan kedalam strategi dasar layanan
pendidikan yang jelas, agar memudahkan dalam pencapaian tujuan.
4. Tahap program and project formulation, yaitu rumusan program dan
proyek pelaksanaan kegiatan operasional perencanaan pendidikan, menyangkut
layanan pedidikan pada aspek akademik dan non akademik.
5. Tahap feasibility testing,
yaitu dilakukan uji kelayakan tentang beragam sumber daya (sumber daya
internal/ eksternal; atau sumber daya manusia/ material). Apabila perencanaan
disusun berdasarkan sumber daya yang tersedia secara cermat dan akurat, akan
menghasilkan tingkat kelayakan rencana pendidikan yang baik.
6. Tahap plan implementation,
yaitu tahap pelaksanaan perencanaan pendidikan untuk mewujudkan tujuan
pendidikan. Keberhasilan tahap ini sangat ditentukan oleh: (a) kualitas sumber
daya manusianya (kepala sekolah, guru, komite sekolah, karyawan, dan siswa);
(b) iklim atau pola kerjasama antar unsur dalam satuan pendidikan sebagai suatu
tim kerja (team work) yang handal; dan (c) kontrol
atau pengawasan dan pengendalian kegiatan selama proses pelaksanaan atau
implementasi program layanan pendidikan.
7. Tahap evaluation and
revision for future plan, yaitu kegiatan untuk menilai (mengevaluasi)
tingkat keberhasilan pelaksanaan program atau perencanaan pendidikan,
sebagai feedback(masukan
atau umpan balik), selanjutnya dilakukan revisi program untuk rencana layanan
pendidikan berikutnya yang lebih baik.
Merujuk
pada uraian dari pengertian perencanaan pendidikan sampai tahapan dalam
penyusunan perencanaan pendidikan tersebut di atas, menunjukkan bahwa kedudukan
perencanaan pendidikan dalam proses layanan pendidikan di setiap satuan
pendidikan adalah sangat penting, karena dengan adanya perencanaan pendidikan
yang baik dapat:
1. Meningkatkan kualitas kegiatan atau
aktivitas layanan pendidikan anak secara maksimal, baik menyangkut aspek
akademik atau non akademiknya. Hal ini disebabkan seluruh aktivitas warga
sekolah harus berdasarkan pada program yang telah disusun dengan baik dalam
suatu perencanaan pendidikan secara sistematik dan integral.
2. Mengetahui beberapa sumber daya
internal dan eksternal yang dimiliki untuk dimanfaatkan secara maksimal, dan
juga mengetahui beberapa kendala, hambatan dan tantangan yang akan dihadapi
dalam upaya pencapaian tujuan. Hal ini disebabkan, suatu perencanaan pendidikan
yang baik pasti akan memuat tentang beberapa peluang dalam mencapai tujuan dan
prediksi tantangan atau hambatan yang akan muncul, serta strategi yang harus
dilakukan dalam mengatasi hambatan tersebut.
3. Memberi peluang pada setiap warga
sekolah dalam meningkatkan beragam kemampuan, keahlian atau ketrampilan
secara maksimal, dalam rangka mewujudkan tujuan layanan pendidikan.
4. Memberikan kesempatan bagi pelaksana
program untuk memilih beberapa alternatif pilihan tentang metode atau strategi
atau pendekatan yang tepat dalam pelaksanaan perencanaan pendidikan, agar
efektif dalam upaya mencapai tujuan pendidikan.
5. Memudahkan dalam pencapaian tujuan
pendidikan, karena perencanaan pendidikan yang baik selalu dirancang dengan
tahapan-tahapan pelaksanaan program layanan pendidikan (jangka pendek, menengah
dan panjang), disamping itu telah disusun skala prioritas sasaran tujuan yang
akan dicapai.
6. Memudahkan dalam melakukan evaluasi
tentang seberapa besar pencapaian tujuan layanan pendidikan yang telah diraih,
karena dalam perencanaan pendidikan yang baik selalu merumuskan
indikator-indikator pencapaian tujuan dan instrumen apa yang dipakai dalam
mengukur keberhasilan dalam kegiatan untuk mencapai tujuan.
7. Memudahkan dalam melakukan revisi
program layanan pendidikan dan proses penyusunan perencanaan pendidikan
berikutnya, sesuai dengan dinamika dan perkembangan kehidupan
sosial-budaya (Banghart, F.W and Trull, A. 1990; Tilaar.H.A.R. 1998; Sa’ud, S.
dan Makmun A,S. 2007).
B. Pendekatan
Perencanaan Pendidikan
Menurut para ahli, ada beragam
pendekatan perencanaan pendidikan, yaitu: pendekatan kebutuhan sosial (social demand approach); pendekatan
ketenagakerjaan (manpower approach);
pendekatan untung rugi (cost and
benefit approach); dan pendekatan keefektifan biaya (cost effectiveness approach). Berikut
ini akan dijelaskan secara singkat keempat pendekatan perencanan pendidikan
tersebut
1. Pendekatan
kebutuhan sosial
Perencanaan
pendidikan yang menggunakan pendekatan kebutuhan sosial, oleh para ahli disebut
pendekatan yang bersifat tradisional, karena fokus atau tujuan yang hendak
dicapai dalam pendekatan kebutuhan sosial ini lebih menekankan pada: (1)
tercapainya pemenuhan kebutuhan atau tuntutan seluruh individu terhadap layanan
pendidikan dasar; (2) pemberian layanan pembelajaran untuk membebaskan populasi
usia sekolah dari tuna aksara (buta huruf); dan (3) pemberian layanan
pendidikan untuk membebaskan rakyat dari rasa ketakutan dari penjajahan, dari
kebodohan dan dari kemiskinan. Oleh karena itu pendekatan kebutuhan sosial ini
biasanya dilaksanakan pada negara-negara yang baru meraih kemerdekaan
dari penjajahan, dengan kondisi masyarakat pribumi yang terbelakang
pendidikannya dan kondisi sosial ekonominya.
Apabila
pendekatan kebutuhan sosial ini dipakai, maka ada beberapa hal yang perlu
dipertimbangkan atau diperhatikan oleh penyusun perencanaan dalam merancang
perencanaan pendidikan, antara lain: (1) melakukan analisis tentang pertumbuhan
penduduknya; (2) melakukan analisis tentang tingkat partisipasi warga
masyarakatnya dalam pelaksanaan pendidikan, misalnya melakukan analisis
persentase penduduk yang berpendidikan dan yang tidak berpendidikan, yang dapat
memberikan kontribusi dalam peningkatan layanan pendidikan di setiap satuan
pendidikan; (3) melakukan analisis tentang dinamika atau gerak (mobilitas)
peserta didik dari sekolah tingkat dasar sampai perguruan tinggi, misalnya
kenaikan kelas, kelulusan, dan dropout;
(4) melakukan analisis tentang minat atau keinginan warga masyarakat tentang
jenis layanan pendidikan di sekolah; (5) melakukan analisis tentang tenaga
pendidik dan kependidikan yang dibutuhkan, dan dapat difungsikan secara
maksimal dalam proses layanan pendidikan; dan (6) melakukan analisis tentang
keterkaitan antara output satuan
pendidikan dengan tuntutan masyarakat atau kebutuhan sosial di masyarakat
(Sa’ud, S. dan Makmun A,S. 2007; Usman, H. 2008).
Ada
beberapa kelebihan dan kekurangan penggunaan pendekatan kebutuhan sosial dalam
perencanaan pendidikan. Diantara sisi positif pendekatan ini antara lain: (1)
pendekatan ini lebih cocok untuk diterapkan pada masyarakat atau negara
yang baru merdeka dengan kondisi kebutuhan sosial, khususnya layanan pendidikan
masih sangat rendah atau masih banyak yang buta huruf; dan (2) pendekatan ini
akan lebih cepat dalam memberikan pemerataan layanan pendidikan dasar yang
dibutuhkan pada warga masyarakat, karena keterbelakangan di bidang pendidikan
akibat penjajahan, sehingga layanan pendidikan yang diberikan langsung
bersentuhan dengan kebutuhan sosial yang mendasar yang dirasakan oleh
masyarakat. Sedangkan sisi kelemahan pendekatan kebutuhan sosial ini
antara lain: (1) pendekatan ini cederung hanya untuk menjawab persoalan yang
dibutuhkan masyarakat pada saat itu, yaitu pemenuhan kebutuhan atau tuntutan
layanan pendidikan dasar sebesar-besanya, sehingga mengabaikan pertimbangan
efisiensi pembiayaan pendidikan; (2) pendekatan ini lebih menekankan pada aspek
kuantitas (jumlah yang terlayani sebanyak-banyaknya), sehingga kurang
memperhatikan kualitas dan efektivitas pendidikan, oleh karena itu pendekatan
ini terkesan lebih boros; (3) pendekatan ini mengabaikan ciri-ciri dan pola
kebutuhan man power yang
diperlukan di sektor kehidupan ekonomi, dengan demikian hasil atau outputpendidikan cenderung kurang
bisa memenuhi tuntutan kebutuhan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
terkini; dan (4) pendekatan ini lebih menekankan pada aspek pemerataan
pendidikan (dimensi kuantitatif) dan kurang mementingkan aspek kualitatif.
Disamping itu pendekatan ini kurang memberikan jawaban yang komprehensif dalam
upaya pencapaian tujuan pendidikan, karena lebih menekankan pada aspek
pemenuhan kebutuhan sosial, sementara aspek atau bidang kehidupan yang lain
kurang diperhatikan.
2. Pendekatan
ketenagakerjaan
Perencanaan
pendidikan yang menggunakan pendekatan ini lebih mengutamakan keterkaitan
antara output (lulusan)
layanan pendidikan di setiap satuan pendidikan dengan tuntutan atau
keterserapan akan kebutuhan tenaga kerja di masyarakat. Apabila pendekatan ini
dipakai oleh para penyusun perencanaan pendidikan, ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan, antara lain: (1) melakukan kajian atau analisis tentang beragam
kebutuhan yang diperlukan oleh dunia kerja yang ada di masyarakat secermat
mungkin; (2) melakukan kajian atau analisis tentang beragam bekal pengetahuan
dan ketrampilan apa yang perlu dimiliki oleh peserta didik agar mereka mampu
menyesuaikan diri secara cepat (adaptif)
terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terjadi di dunia
kerja; dan (3) mengkaji atau menganalisis tentang sistem layanan pendidikan
yang terbaik dan mampu memberikan bekal yang cukup bagi siswa untuk terjun di
dunia kerja, oleh karena itu perlu dilakukan analisis peluang kerja dan
menjalin kerjasama antara lembaga pendidikan dengan dunia usaha dan industri (link and match).
Ada
beberapa kelebihan dan kelemahan dari perencanaan pendidikan yang menggunakan
pendekatan ketenagakerjaan, yaitu: Pertama,
beberapa kebaikan dari pendekatan perencanaan pendidikan ketenagakerjaan,
antara lain: (1) proses pembelajaran atau layanan pendidikan di satuan
pendidikan mempunyai aspek korelasional yang tinggi dengan tuntutan dunia kerja
yang dibutuhkan masyarakat; dan (2) pendekatan ini mengharuskan adanya
keterjalinan yang erat antara lembaga pendidikan dengan dunia usaha dan industri,
hal ini tentu sangat positif untuk meminimalisir terjadinya kesenjangan antara
dunia pendidikan dengan dunia industri-usaha.
Kedua,
beberapa kelemahan dari pendekatan perencanaan pendidikan ketenagakerjaan,
antara lain: (1) mempunyai peranan yang terbatas terhadap perencanaan
pendidikan, karena pendekatan ini telah mengabaikan peran sekolah menengah
umum, dan lebih mengutamakan sekolah menengah kejuruan untuk memenuhi kebutuhan
dunia kerja. Dalam realitasnya masih banyak lulusan sekolah menengah kejuruan
yang menganggur (output-nya
tidak terserap di dunia kerja); (2) perencanaan ini lebih menggunakan
orientasi, klasifikasi, dan rasio antara permintaan dan persediaan; dan (3)
tujuan utamanya untuk memenuhi tuntutan dunia kerja, sedangkan disisi lain tuntutan
dunia kerja selalu berubah-ubah (bersifat dinamik) begitu cepat, sehingga
lembaga pendidikan kejuruan sering kurang mampu mengantisipasinya dengan baik
(Vebriarto. 1982; Abin, S. Makmun, dkk. 2001; Usman, H. 2008).
3. Pendekatan
keefektifan biaya
Pendekatan
ini berorientasi pada konsep Investment
in human capital (investasi pada sumber daya manusia).
Pendekatan ini sering disebut pendekatan untung rugi. Diantara ciri-ciri
pendekatan ini antara lain: (1) pendidikan memerlukan biaya investasi yang
besar, oleh karena itu perencanaan pendidikan yang disusun harus
mempertimbangkan aspek keuntungan ekonomis; (2) pendekatan ini didasarkan pada
asumsi, bahwa: (a) kualitas layanan pendidikan akan
menghasilkan output yang
baik dan secara langsung akan memberi kontribusi pada pertumbuhan ekonomi
masyarakat; (b) sumbangan seseorang terhadap pendapatan nasional adalah
sebanding dengan tingkat pendidikannya; (c) perbedaan pendapatan seseorang di
masyarakat, ditentukan oleh kualitas pendidikan bukan ditentukan oleh latar
belakang sosialnya; (3) perencanaan pendidikan harus betul-betul
diorientasikan pada upaya meningkatkan kualitas SDM (penguasaan Iptek), dan
dengan tersedianya kualitas SDM, maka diharapkan income masyarakat akan meningkat; dan (4) program
pendidikan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi akan menempati prioritas
pembiayaan yang besar.
Ada
beberapa kelebihan dan kelemahan dari perencanaan pendidikan dengan
pendekatan keefektifan biaya, yaitu. Pertama, kelebihan pendekatan keefektifan biaya, antara lain:
(a) perencanaan pendidikan yang disusun akan mempunyai aspek fungsional dan
keuntungan ekonomis, sehingga bentuk-bentuk layanan pendidikan yang dianggap
kurang produktif bisa ditiadakan melalui pendekatan efisiensi investasi; dan
(b) pendekatan ini selalu memilih alternaif yang menghasilkan keuntungan
lebih banyak daripada biaya yang dikeluarkan.
Kedua,
kelemahan pendekatan keefektifan biaya, antara lain: (a) akan mengalami
kesulitan dalam menentukan secara pasti biaya dan keuntungan (cost and benefit) dari layanan
pendidikan, terlebih apabila digunakan mengukur keuntungan untuk periode atau
masa yang akan datang; (b) sangat sulit untuk mengukur secara pasti atau
menghitung keuntungan (benefit)
yang dihasilkan oleh seseorang dalam lapangan pekerjaan yang dikaitkan dengan
layanan pendidikan sebelumnya; (c) pendekatan ini mengabaikan hubungan antara
penghasilan seseorang dengan faktor internal individu (misalnya, motivasi,
disiplin nurani, kelas sosial, orientasi hidup individu, dan sejenisnya), dan
hanya melihat hubungan antara tingkat pendidikan dengan penghasilan; (d)
perbedaan pendapatan seseorang sebenarnya tidak semata-mata menunjukkan
kemampuan produktivitas individual, tetapi ada faktor lain yang ikut menentukan
yaitu faktor konvensi sosial atau banyak dipengaruhi dari kerja kelompok; dan
(e) keuntungan dari pendidikan pada dasarnya tidak hanya diukur berupa
keuntungan finansial (material), tetapi juga dapat dilihat dari keuntungan
sosial-budaya (Abin, S. Makmun, dkk. 2001; Sa’ud, S. dan Makmun A,S. 2007).
4. Pendekatan
integratif
Perencanaan
pendidikan yang menggunakan pendekatan integrasi (terpadu) dianggap sebagai
pendekatan yang lebih lengkap dan relatif lebih baik daripada ketiga pendekatan
di atas. Pendekatan ini sering disebut dengan ‘pendekatan sistemik atau
pendekatan sinergik’. Diantara ciri atau karakteristik pendekatan integratif
adalah, bahwa perencanaan pendidikan yang disusun berdasarkan pada: (1)
keterpaduan orientasi dan kepentingan terhadap pengembangan individu dan
pengembangan sosial (kelompok); (2) keterpaduan antara pemenuhan kebutuhan
ketenagakerjaan (bersifat pragmatis) dan juga mempersiapkan pengembangan
kualitas akademik (bersifat idealis) untuk mempersiapkan studi lanjut; (3)
keterpaduan antara pertimbangan ekonomis (untung rugi), dan pertimbangan
layanan sosial-budaya dalam rangka memberikan kontribusi terhadap terwujudnya
integrasi sosial-budaya; (4) keterpaduan pemberdayaan terhadap sumber daya
lembaga, baik sumber daya internal maupun sumber daya eksternal; (5) konsep
bahwa seluruh unsur yang terlibat dalam proses layanan pendidikan (pelaksanaan
program) di setiap satuan pendidikan merupakan ‘suatu sistem’;
dan (6) konsep bahwa kontrol dan evaluasi pelaksanaan program
(perencanaan pendidikan) melibatkan semua pihak yang berkaitan dengan proses
layanan kualitas pendidikan, dengan tetap berada dalam komando pimpinan atau
kepala satuan pendidikan. Sedangkan pihak-pihak yang dapat terlibat dalam
proses evaluasi pelaksanaan perencanaan pendidikan di setiap satuan pendidikan
adalah: (a) Kepala sekolah; (b) Guru; (c) Siswa; (d) Komite Sekolah, (e)
Pengawas sekolah; dan (f) Dinas pendidikan (Vebriarto. 1982; Soenarya, E. 2000;
Depdiknas, 2001, 2006).
Sedangkan
kelebihan dan kelemahan pendekatan perencanaan pendidikan integrasi atau terpadu
adalah: Pertama, kelebihan
pendekatan terpadu antara lain: (1) semua sumber daya (internal-eksternal) yang
dimiliki dalam proses pengembangan pendidikan akan terberdayakan secara baik
dan seimbang; (2) dalam proses pelaksanaan program atau perencanaan pendidikan
memberikan peluang secara maksimal kepada setiap warga sekolah (kepala sekolah,
guru, karyawan, siswa dan komite sekolah (tokoh dan orang tua wali siswa) untuk
berkontribusi secara positif sesuai dengan status dan peran masing-masing; (3) peluang
untuk pencapaian tujuan pendidikan yang telah dirumuskan akan lebih efektif,
karena dalam perencanaan terpadu memberikan porsi yang cukup besar bagi
pemberdayakan semua potensi yang dimiliki secara kelembagaan, dan menuntut
partisipasi aktif dari semua warga sekolah; (4) perencanaan pendidikan yang
terpadu akan mampu menghadapi perubahan atau dinamika kehidupan sosial, ekonomi
dan budaya atau tingkat kompetisi yang begitu tinggi di semua bidang kehidupan
di era globalisasi; (5) pelaksanaan pendekatan perencanaan pendidikan terpadu
secara baik akan mampu mensosialisasi dan menginternalisasi setiap warga
sekolah, untuk membangun sikap mental dan pola perilaku yang integral atau
multidimensional atau komprehensif dalam memahami dan melaksanakan setiap agenda
kehidupan di masyarakat; dan (6) output dari
proses layanan pendidikan pada peserta didik akan lebih menampilkan
potret hasil pendidikan yang lengkap, baik kualitas akademiknya, kualitas
kepribadiannya dan kualitas ketrampilannya.
Kedua,
kelemahan pendekatan terpadu antara lain: (1) pendekatan ini memerlukan
ketersediaan kualitas sumber daya manusia (pendidik dan tenaga kependidikan),
khususnya kualitas pengetahuan, mentalitas atau kepribadiannya, dan
spiritualnya. Dalam realitasnya menurut data Depdiknas 2006-2007, khususnya
tentang kualitas tenaga pendidik (guru) secara makro (Nasional) dari jenjang
pendidikan paling dasar sampai menengah atas yang betul-betul telah memenuhi
standar kualitas guru yang professional masih kurang dari 20 %, atau kurang lebih
80 % guru-guru di Indonesia belum memiliki kualifikasi sebagai guru yang
profesional (Arifin, 2007). Hal ini tentu sangat menyulitkan proses pelaksanaan
perencanaan pendidikan yang integratif; (2) perencanaan pendidikan
terpadu menuntut kualitas pengelolaan manajemen kelembagaan secara transparan,
akuntabel, demokratik dan visioner. Dalam realitasnya masih banyak dijumpai
pola pengelolaan manajemen di setiap satuan pendidikan yang tidak selaras
dengan prinsip-prinsip Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS); dan
(3) perencanaan pendidikan terpadu menuntut kualitas peran serta masyarakat
(PSM), dalam meningkatkan layanan pendidikan di setiap satuan pendidikan,
khususnya dalam melaksanakan empat peran penting, yaitu sebagai: (a) pemberi
pertimbangan (advisory); (b)
pendukung (supporting); (c)
pengontrol (controlling);
dan (d) mediator (Depdiknas, 2006). Dalam realitasnya keempat peran tersebut
belum terlaksana dengan baik di setiap lembaga atau satuan pendidikan.
Jadi,
uraian tentang kelemahan pendekatan integratif atau terpadu atau sistemik
sejatinya tidak menyangkut ranah konseptual, tetapi lebih bersentuhan pada
tataran unsur pendudukung dalam pelaksanaan program (aplikasinya). Oleh karena
itu secara konseptual pendekatan perencanaan integrasi merupakan pendekatan
yang paling baik apabila dibandingkan dengan pendekatan yang lain yang lebih
bersifat parsial (sektoral). Hal yang paling kunci untuk mendukung pelaksanaan
program pendidikan pada perencanaan pendidikan integratif adalah: (a) terus
mendorong pengembangan kualitas SDM warga sekolah; (b) terus meningkatkan
kualitas manajemen satuan pendidikan berdasarkan prinsip-prinsip MPMBS; dan (c)
terus meningkatkan kualitas peran serta masyarakat (PSM) untuk mencapai tujuan
pendidikan.
C. Metode dan Model Perencanaan Pendidikan
1. Metode perencanaan pendidikan
Ada
beberapa metode perencanaan pendidikan yang perlu dipahami oleh setiap penyusun
perencanaan pendidikan, antara lain:
1. Metode
analisis sumber-cara-tujuan.
Metode ini dipakai untuk meneliti sumber-sumber dan beberapa alternatif
pelaksanaan program untuk mencapai tujuan pendidikan. Sebagai penyusun
perencanaan pendidikan yang menggunakan metode ini, hal-hal yang perlu
dilakukan adalah: (a) melakukan analisis tentang sumber daya yang ada, baik
sumber daya internal atau eksternal yang dimiliki; (b) melakukan analisis
tentang beberapa metode (cara) atau strategi yang dapat dilakukan dalam proses
pelaksanaan program yang telah dirancang, agar efektif dalam pencapaian tujuan;
dan (c) melakukan analisis tentang tujuan jangka pendek, menengah dan tujuan
jangka panjang secara integral dan berkesinambungan,
2. Metode
analisis masukan-keluaran.
Metode ini dipakai untuk menganalisis beberapa faktor input pendidikan, prosespendidikan dan output pendidikan. Sebagai
penyusun perencanaan pendidikan yang menggunakan metode ini, hal-hal yang perlu
dilakukan adalah: (1) melakukan analisis tentang faktor-faktor input pendidikan, misalnya: (a)
analisis memiliki kebijakan mutu sekolah; (b) analisis sumber daya tersedia dan
siap; (c) analisis tentang harapan prestasi yang tinggi; (d) analisis terhadap
pelanggan (khususnya pada peserta didik yang masuk); dan (e) analisis
manajemen MBS (Dirjen Dikdasmen, 2006; Bafadal, I. 2003); (2)
melakukan analisis tentang proses layanan
pendidikan, misalnya: (a) analisis efektivitas proses belajar mengajar; (b)
analisis kepemimpinan sekolah yang demokratis; (c) analisis pengelolaan SDM dan
keuangan yang efektif, transparan dan akuntabel; (d) analisis sekolah berbudaya
mutu; (e) analisis sekolah yang memilikiteamwork yang
kompak, cerdas, visioner dan dinamik; (f) analisis kemandirin dalam pengelolaan
sumber daya sekolah; dan sebagainya (Dirjen Dikdasmen, 2006); dan (3) melakukan
analisis output pendidikan,
misalnya: (a) analisis kualitas karya sekolah; (b) analisis produktivitas warga
sekolah; (c) analisis lulusan dengan kebutuhan masyarakat; dan sebagainya.
3. Metode
analisis ekonometrik.
Metode ini memakai data empirik, statistik, kuantitatif dan teori ekonomi dalam
mengukur perubahan untuk hubungannya dengan ekonomi. Metode ini lebih dekat
dengan pendekatan perencanaan pendidikan model untung rugi atau
keefektifan biaya. Sebagai penyusun perencanaan pendidikan yang menggunakan
metode ini, hal-hal yang perlu dilakukan adalah: (1) melakukan analisis secara
empirik atau kuantitatif tentang sumber daya dan sumebr dana yang dimiliki oleh
lembaga, yang berpotensi untuk bisa dikembangkan secara maksimal dalam rangka
meraih keuntungan finansial secara maksimal; dan (2) melakukan analisis
tentang peluang output dari
layanan pendidikan yang dapat terserap oleh dunia usaha atau industri, sehingga
layanan pendidikan yang diberikan betul-betul mempunyai nilai ekonomis yang
tinggi. Oleh karena proses layanan pendidikan yang tidak bernilai produktif
(memberi nilai ekonomis) harus ditiadakan.
4. Metode
diagram sebab akibat.
Metode ini dipakai dalam perencanaan yang menggunakan sekuen hipotetik untuk
mendapatkan gambaran masa depan yang lebih baik. Metode ini hampir sama dengan
pendekatan strategik. Sebagai penyusun perencanaan pendidikan yang menggunakan
metode ini, hal-hal yang perlu dilakukan adalah: (1) melakukan analisis beragam
problem atau beragam tantangan yang akan dihadapi oleh dunia pendidikan di masa
yang akan datang. Oleh karena itu diperlukan adanya analisis SWOT (Strength atau kekuatan, Weakness atau kelemahan, Opportunity atau kesempatan, and Threat atau ancaman)
secara cermat pada semua aspek atau bidang-bidang pendidikan yang akan
dikembangkan. Tujuan dilakukan analisis SWOT adalah untuk mengenali tingkat
kesiapan setiap bidang pendidikan atau aspek kelembagaan yang diperlukan untuk
mencapai tujuan pendidikan; dan (2) melakukan analisis tindakan atau
langkah-langkah yang tepat, yang dapat dilaksanakan dalam menghadapi beragam
tantangan atau problem yang muncul pada era yang akan datang.
5. Metode
analisis siklus kehidupan. Metode
ini dipakai untuk mengalokasikan sumber daya yang ada di sekolah dengan
memperhatikan siklus kehidupan produksi atau output layanan pendidikan (lulusan), proyek, program dan
proses kegiatan layanan pendidikan. Tahapan yang perlu diperhatikan oleh
penyusun perencanaan pendidikan yang menggunakan metode ini, adalah: (1)
melakukan konseptualisasi program-program dalam perencanaan pendidikan; (2)
spesifikasi program-program dalam perencanaan pendidikan; (3) pengembangan
prototipe layanan pendidikan; (4) pengujian dan evaluasi program-program dalam
perencanaan pendidikan; (5) operasi; dan (6) produk atau output layanan pendidikan
(lulusan).
6. Metode
proyeksi. Metode
ini paling banyak dipakai dalam perencanaan pendidikan di tingkat mikro
(lembaga satuan pendidikan). Perencanaan pendidikan yang menggunakan metode
proyeksi, akan menghasilkan cara (metode) pemecahan masalah penduduk lima
tahunan, data persekolahan, proyeksi penduduk usia sekolah, proyeksi siswa,
proyeksi ruang kelas, dan proyeksi kebutuhan guru. Dalam metode ini paling tidak
ada tiga metode proyeksi, yaitu:
1) Angka
pertumbuhan siswa. Angka pertumbuhan siswa adalah perhitungan kenaikan
siswa setiap tahunnnya
2) Kohort
siwa. Kohort adalah satu angkatan siswa yang masuk kelas 1 (awal) sampai
tamat sekolah. Contoh, pada tahun pelajaran 2010-2011 siswa yang masuk kelas
VII SMP/ MTs berjumlah 500 orang,kemudian tiga tahun berikutnya 2012-2013
yang lulus adalah 470 siswa (94%), sedangkan yang tidak lulus 30 siswa (6 %).
3) Arus
siswa. Proyeksi arus siswa ini akan memberikan gambaran yang lebih
akurat dan tepat karena memberikan data yang mendekati kenyataan. Hal ini
disebabkan proyeksi ini menggunakan berbagai parameter yang mengontrol hasil
proyeksi tiga arus dari setiap tingkat, yaitu: (a) angka mengulang; (b) angka
naik kelas; dan (c) angka putus sekolah (Usman, H. 2008).
2. Model perencanaan pendidikan
Ada beberapa model perencanaan
pendidikan, yaitu: Pertama,
model komprehensif. Model ini digunakan untuk menganalisis perubahan-perubahan
dalam layanan pendidikan secara menyeluruh. Disamping itu, model ini berfungsi
juga sebagai pedoman dalam menguraikan beragam rencana yang lebih khusus ke
arah tujuan pendidikan yang lebih luas.
Kedua, model pembiayaan dan keefektifan
biaya. Model ini digunakan untuk menganalisis proyek dengan kriteria efisiensi
dan efektivitas pembiayan layanan pendidikan. Dengan model ini dapat diketahui
proyek layanan pendidikan yang mana yang paling layak atau terbaik untuk
didanai dan dikembangkan dibandingkan dengan proyek-proyek lainnya. Model ini hampir
sama dengan pendekatan untung rugi.
Ketiga, model Planning, Programming, Budgeting System (PPBS),
yaitu model sistem perencanaan, pemrograman, dan penganggaran layanan
pendidikan. Model ini banyak dipergunakan pada perencanaan pendidikan perguruan
Tinggi Negeri. PPBS meruapakan suatu pendekatan sistematis dan komprehensif
yang berusaha menentukan tujuan, mengembangkan program-program untuk dicapai
dengan menggunakan anggaran seefisien dan seefektif mungkin, dan mampu
menggambarkan kegiatan program pendidikan jangka panjang.
Keempat, model target setting. Model ini dipergunakan untuk
memperkirakan atau memproyeksi tingkat perkembangan dalam kurun waktu tertentu.
Dalam persiapannya diperlukan model untuk analisis demografis dan proyeksi
penduduk, model untuk memproyeksikan jumlah peserta didik di sekolah, dan model
untuk memproyeksikan kebutuhan tenaga kerja. Persoalan yang muncul adalah,
model yang manakah yang paling baik diterapkan dalam penyusunan perencanaan
pendidikan?, Menurut para ahli sebaiknya model perencanaan pendidikan yang
dipakai dalam proses layanan pendidikan di setiap satuan pendidikan adalah
mengintegrasikan beberapa model tersebut di atas, dengan tetap memperhatikan
situasi dan kondisi yang dihadapi oleh masing-masing lembaga pendidikan
(Abin, S. Makmun, dkk. 2001; Usman, H. 2008).
Kesimpulan
Uraian tentang konsep perencanan
pendekatan dan model perencanaan pendidikan tersebut di atas dapat diambil
pokok-pokok kajian sebagai kesimpulan sebagai berikut.
Pertama, bahwa konsep yang ada
dalam pengertian perencanaan pendidikan, paling tidak mengandung lima hal,
yaitu: (a) suatu rumusan rancangan kegiatan yang ditetapkan berdasarkan
visi, misi dan tujuan pendidikan; (b) memuat prosedur dalam proses
kegiatan untuk mencapai tujuan pendidikan; (c) merupakan alat kontrol
pengendalian perilaku warga satuan pendidikan; (d) memuat rumusan hasil yang
ingin dicapai dalam proses layanan pendidikan kepada peserta didik; dan (e)
menyangkut masa depan proses pengembangan dan pembangunan pendidikan dalam
waktu tertentu, yang lebih berkualitas.Kedua,
manfaat perencanaan pendidikan adalah dapat digunakan sebagai: (a) standar
pelaksanaan dan pengawasan proses layanan pendidikan; (b) media pemilihan
berbagai alternatif langkah strategi penyelesaian yang terbaik bagi upaya
pencapaian tujuan pendidikan; (c) media mengefisiensikan dan mengefektifkan
pemanfaatan beragam sumber daya lembaga pendidikan; (d) media untuk memudahkan
dalam berkoordinasi dengan berbagai pihak atau lembaga pendidikan yang terkait,
dalam rangka meningkatkan kualitas layanan pendidikan; dan (e) alat dalam
mengevaluasi pencapaian tujuan proses layanan pendidikan.
Ketiga, suatu perencanaan pendidikan, paling
tidak memiliki ciri atau karakteristik, yaitu perencanaan pendidikan harus: (a)
berorientasi pada visi, misi kelembagaan yang akan diwujudkan; (b) mempunyai
tahapan program jangka waktu tertentu yang akan dicapai secara
berkesinambungan; (c) mengutamakan nilai-nilai manusiawi dan bermanfaat bagi
dirinya dan masyarakatnya; (d) memberikan kesempatan untuk mengembangkan segala
potensi peserta didik secara maksimal; (e) komprehensif dan sistematis serta
disusun secara logis, rasional; (f) diorientasikan untuk mempersiapkan kualitas
sumber daya manusia yang berkualitas; (g) dikembangkan dengan
memperhatikan keterkaitannya dengan berbagai komponen pendidikan secara
sistematis; (h) menggunakan sumber daya (resources) internal dan eksternal secermat mungkin; (i)
berorientasi kepada masa dating atau visioner; dan (j) responsif terhadap kebutuhan
yang berkembang di masyarakat dan bersifat dinamik; dan (k) merupakan sarana
untuk mengembangkan inovasi pendidikan.
Keempat, beberapa prinsip yang harus
diperhatikan dalam penyusunan perencanaan pendidikan, antara lain: (a) prinsip
interdisipliner; (b) prinsip fleksibel; (c) prinsip efektifitas-efisiensi; (d)
prinsip progress of
change; (e) prinsip objektif, rasional dan sistematis; dan
(f) prinsip kooperatif-komprehensif; dan (g) prinsip human resources development. Kelima, beberapa tahapan yang
semestinya harus dilalui dalam penyusunan perencanaan pendidikan, antara lain:
(a) tahap need assessment; (b) tahap formulation of goals and objective;
(c) tahap policy and
priority setting; (d) tahap program
and project formulation; (e) tahap feasibility testing;
(f) tahap plan implementation; dan (g)
tahap evaluation and revision for future plan. Keenam, ada beragam pendekatan
perencanaan pendidikan, yaitu: pendekatan kebutuhan sosial (social demand approach); pendekatan
ketenagakerjaan (manpower approach);
pendekatan untung rugi (cost and
benefit approach); dan pendekatan keefektifan biaya (cost effectiveness approach).
Ketujuh, beberapa metode perencanaan
pendidikan yang perlu dipahami oleh setiap penyusun perencanaan pendidikan,
antara lain: (a) metode analisis sumber-cara-tujuan; (b) metode analisis
masukan-keluaran; (c) metode analisis ekonometrik; (d) metode diagram sebab
akibat; (e) metode analisis siklus kehidupan; dan (f) metode proyeksi. Kedelapan, ada beberapa model
perencanaan pendidikan, yaitu: (a) model komprehensif, model ini digunakan
untuk menganalisis perubahan-perubahan dalam layanan pendidikan secara
menyeluruh; (b) model pembiayaan dan keefektifan biaya, model ini
digunakan untuk menganalisis proyek dengan kriteria efisiensi dan efektivitas
pembiayan layanan pendidikan; (c) model Planning, Programming, Budgeting System (PPBS), yaitu model
sistem perencanaan, pemrograman, dan penganggaran layanan pendidikan; dan (d)
model target setting,
model ini dipergunakan untuk memperkirakan atau memproyeksi tingkat
perkembangan dalam kurun waktu tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
Abin, S. Makmun, dkk. 2001. Perencanaan Pembangunan
Pendidikan. Depdiknas. Jakarta.
Atmadi, A dan Setiyaningsih (Ed). 2000. Transformasi
Pendidikan, Memasuki Milenium Ketiga. Universitas Sanata Dharma. Yogyakarta.
Arifin, 2007. “Problematika SDM Guru Dalam Penerapan KTSP
(Sebuah Renungan mencari jalan keluar)”. Jurnal, Media, Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Timur. No.
08 /Th.XXXVII / Oktober 2007. hal: 62-65.
Bafadal, Ibrahim. 2003. Manajemen Peningkatan Mutu Sekolah
Dasar. Bumi Aksara. Jakarta.
Banghart, F.W and Trull, A. 1990. Educational Planning. New York: The
MacMillan. Company.
Bell Gredler, Margaret E., 1986. Learning and Intruction: Theory into
Practice. New York: Macmillan Publishing Company.
BSNP, 2006. Standar Isi. Badan Standar Nasional Pendidikan,
Jakarta.
Dahana, OP and Bhatnagar, OP. 1980. Education and Communication for Development,
Oxford & LBH Publishing C.O. New Delhi.
Depdiknas, 2001. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis
Sekolah. Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat
Pendidikan Menengah Umum. Jakarta.
____, 2003, Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun
2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Depdiknas. Jakarta.
____, 2005,a. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 14
tahun 2005, tentang Guru dan Dosen.
____, 2005,b. Standar Nasional Pendidikan. PP. Nomor 19
Tahun 2005. Depdiknas, Jakarta.
____, 2006. Pemberdayaan Komite Sekolah. Dirjen Manajemen
Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta.
Djohar, 1999. Reformasi dan Masa Depan Pendidikan di
Indonesia. IKIP. Yogyakarta
Langgulung, H., 1992. Asas-asas Pendidikan Islam. Pustaka Al
Husna. Jakarta
Mulyasa, E. 2003, Menjadi Kepala Sekolah Profesional. Remaja
Rosdakarya. Bandung.
Sa’ud, S. dan Makmun A,S. 2007. Perencanaan Pendidikan,
Suatu Pendekatan Komprehensif. Remaja Rosdakarya. Jakarta.
Sagala, S. 2009. Manajemen Strategik Dalam Peningkatan Mutu
Pendidikan. Alfabeta. Bandung.
Sanjaya, W., 2007. Strategi Pembelajaran, Berorientasi
Standar Proses Pendidikan. Penerbit Kencana Prenada Media Group. Jakarta.
Soenarya, E. 2000. Pengantar Teori Perencanaan Pendidikan
Berdasarkan Pendekatan Sistem. Adicita. Yogyakarta.
Tilaar.H.A.R. 1998. Manajemen Pendidikan Nasional (Kajian
Pendidikan Masa Depan). PT. Remaja Rosdakarya. Bandung.
Oliver, Paul, ed. 1996. The Management of Education Change. England: Asghate Publishing
Limited.
Usman, H. 2008. Manajemen Teori Praktik dan Riset
Pendidikan.Bumi Aksara. Jakarta.
Vebriarto. 1982. Pengantar Perencanaan
Pendidikan. Penerbit Paramita
No comments :
Post a Comment