BAB I
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan salah satu sektor penting dalam
pembangunan di setiap negara. Menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2004,
pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mengembangkan segala
potensi yang dimiliki peserta didik melalui proses pembelajaran. Pendidikan
bertujuan untuk mengembangkan potensi anak agar memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, berkepribadian, memiliki kecerdasan, berakhlak
mulia, serta memiliki keterampilan yang diperlukan sebagai anggota masyarakat
dan warga negara.
Untuk mencapai tujuan pendidikan yang mulia ini disusunlah
kurikulum yang merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan,
isi, dan bahan dan metode pembelajaran. Kurikulum digunakan sebagai pedoman
dalam penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan
yang telah ditentukan. Untuk melihat tingkat pencapaian tujuan pendidikan,
diperlukan suatu bentuk evaluasi.
Dengan demikian evaluasi pendidikan merupakan salah satu
komponen utama yang tidak dapat dipisahkan dari rencana pendidikan. Namun
tidak semua bentuk evaluasi dapat dipakai untuk mengukur pencapaian tujuan
pendidikan yang telah ditentukan. Informasi tentang tingkat keberhasilan
pendidikan akan dapat dilihat apabila alat evaluasi yang digunakan sesuai dan
dapat mengukur setiap tujuan. Alat ukur yang tidak relevan dapat
mengakibatkan hasil pengukuran tidak tepat bahkan salah sama sekali.
Ujian Akhir Nasional merupakan salah satu alat evaluasi yang
dikeluarkan Pemerintah yang merupakan bentuk lain dari Ebtanas (Evaluasi
Belajar Tahap Akhir) yang sebelumnya dihapus. Pelaksanaan Ujian Akhir
Nasional (UAN) dalam beberapa tahun ini menjadi satu masalah yang cukup ramai
dibicarakan dan menjadi kontraversi dalam banyak seminar atau perdebatan.
Beberapa kali sempat terlontar rencana atau keinginan dari beberapa pihak untuk
menghapus atau meniadakan Ujian Akhir Nasional tersebut. Tidak kurang dari Mendikbud
sendiri pernah melontarkan pernyataan akan menghapus UAN, dan pernyataan
beberapa anggota Dewan yang mengusulkan penghapusan UAN tersebut.
Dalam tahun 2006, walaupun UAN mengalami peningkatan dalam
prosentase kelulusan, masih dipandang sebelah mata oleh anggota DPR. Hal ini
terjadi karena banyaknya laporan yang masuk ke DPR mengenai penyelewengan yang
terjadi dalam UAN tersebut. (Detik.com 26/06/2006). Menurut Wakil Ketua
Komisi X DPR, UAN dinilai diskriminatif terhadap peserta didik. Komisi X menilai
UAN ini sebaiknya hanya digunakan untuk pemetaan kemampuan siswa yang nantinya
digunakan untuk mendukung pembuatan kebijakan dan bukan untuk penentu
kelulusan. UAN juga bertentangan dengan Sisdiknas, karena dalam Sisdiknas
dikatakan bahwa tenaga pengajar diberikan kewenangan untuk menilai siswanya
dalam masalah kelulusan.
Pada tahun 2005, Komisi X DPR RI pernah menolak kebijakan
pemerintah khususnya Mendiknas Bambang Sudibyo yang bersikukuh tetap
melaksanakan UAN di tahun 2005 yang lalu. Menurut Ketua Komisi X Heri Akhmadi,
pelaksanaan UAN bertentangan dengan UU Sistem Pendidikan Nasional No 20 tahun
2003. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan :Evaluasi Peserta Didik,
satuan Pendidik, dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara
berkala, menyeluruh, transparan, dan sistematik, untuk menilai pencapaian
standard nasional pendidikan. Dalam pasal 58 UU Sisdiknas tersebut juga
dinyatakan bahwa evaluasi belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk
memantau proses, kemajuan dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara
berkesinambungan (Kompas, Senin 24 Januari 2005).
Adapun syarat kelulusan UAN untuk tahun 2008 ini adalah 4,25
untuk nilai minimal masing-masing mata pelajaran yang diujikan dan rata-rata
minimal 5,0. Ada empat mata pelajaran yang diujikan yaitu Bahasa Indonesia,
Bahasa Inggris, Matematika dan IPA. Banyak terjadi seorang siswa yang
dalam pendidikan disekolah mendapatkan ranking cukup baik dikelas tetapi tidak
lulus UAN hanya karena salah satu mata pelajaran tersebut nilainya kurang dari
rata-rata. Sehingga walaupun nilai mata pelajaran lain tinggi, tetap tidak
lulus. Beberapa siswa bahkan sudah diterima di perguruan tinggi negeri melalui
jalur PMDK atau di SMA tertentu, tetapi gagal karena tidak lulus UAN, dan
perguruan tinggi negeri serta SMA swasta favorit tidak mau menerima peserta
yang tidak lulus UAN. Bahkan beberapa sudah sempat diterima di perguruan tinggi
luar negeri tetapi gagal juga karena tidak lulus UAN.
Dengan demikian UAN dalam implementasinya mengalami krisis
kebijakan dimana faktor penyebab krisis dapat ditinjau dari berbagai dimensi
sebagai contoh sederhana krisis tersebut dapat terjadi karena kekurangan dalam
proses perumusan kebijakan dan programnya, kekeliruan dalam proses perencanaan,
penyimpangan dalam pelaksanaan, kelemahan dalam penentuan anggaran atau bahkan
pada saat pengawasan dan dan pelaporan.
Oleh karena itu, pada makalah ini mencoba untuk mengupas
analisis kebijakan evaluasi dalam bentuk UAN serta permasalahannya dan juga
rekomendasi tentang pelaksanaan evaluasi yang bertaraf nasional.
BAB II
KAJIAN TEORI
Sebelum berbicara tentang evaluasi, terlebih dahulu akan
dikemukakan tentang kurikulum sebagai cara untuk mencapai tujuan pendidikan.
Kurikulum mencakup fokus program, media instruksi, organisasi materi, strategi
pembelajaran, manajemen kelas, dan peranan pengajar (Arieh Lewy, 1977:7-8). Di
Indonesia sekarang sedang dikembangkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP) yang merupakan seperangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi yang
dibakukan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Adapun tujuan
pendidikan nasional sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003
bahwa pendidikan “bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab” (Pasal 3).
Evaluasi harus mampu menjawab semua informasi tentang
tingkat pencapaian tujuan yang telah ditentukan. Pendidikan yang diarahkan
untuk melahirkan tenaga cerdas yang mampu bekerja dan tenaga kerja yang cerdas
tidak dapat diukur hanya dengan tes belaka (Soedijarto, 1993a:17). Untuk itu
evaluasi harus mampu menjawab kecerdasan peserta didik sekaligus kemampuannya
dalam bekerja. Sistem evaluasi yang lebih banyak berbentuk tes obyektif akan
membuat peserta didik mengejar kemampuan kognitif dan bahkan dapat dicapai
dengan cara mengafal saja. Artinya anak yang lulus ujian dalam bentuk tes
obyektif belum berarti bahwa anak tersebut cerdas apalagi terampil bekerja,
karena cukup dengan menghafal walaupun tidak mengerti maka dia dapat
mengerjakan tes. Sebagai konsekuensinya harus dikembangkan sistem evaluasi yang
dapat menjawab semua kemampuan yang dipelajari dan diperoleh selama mengikuti
pendidikan. Selain itu pendidikan harus mampu membedakan antara anak yang
mengikuti pendidikan dengan anak yang tidak mengikuti pendidikan. Dengan kata
lain evaluasi tidak bisa dilakukan hanya pada saat tertentu, tetapi harus
dilakukan secara komperehensif atau menyeluruh dengan beragam bentuk dan
dilakukan secara terus menerus dan berkelanjutan (Soedijarto, 1993b:27-29).
Demikian pula yang dikemukakan McNeil (1977:134-135) dimana
evaluasi harus mampu memberikan tiga informasi penting yaitu penempatan,
mastery, dan diagnosis. Penempatan berkaitan dengan pada level belajar yang
mana seorang anak dapat ditempatkan sehingga dapat menantang tetapi tidak
frustasi. Mastery berkaitan dengan apakah anak sudah memiliki pengetahuan dan
kemampuan yang cukup untuk menuju ke tingkat berikutnya. Diagnosis
berkaitan dengan pada bagian mana yang dirasa sulit oleh anak.
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Analisa Kebijakan
UAN
Dalam
pembahasan ini dijelaskan analisa kebijakan UAN yang bertentangan dengan UU
Sisdiknas dan bentuk evaluasi di dalam pendidikan. Pertama, ada anggapan
dari sebagian orang, terutama para pejabat Legislatif yang menganggap bahwa UAN
bertentangan dengan UU Sisdiknas. Dimana Pemerintah telah mengambil kebijakan
untuk menerapkan UAN sebagai salah satu bentuk evaluasi pendidikan. Menurut
Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 153/U/2003 tentang Ujian Akhir
Nasional Tahun Pelajaran 2003/2004 disebutkan bahwa tujuan UAN adalah untuk
mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik melalui pemberian tes pada
siswa sekolah lanjutan tingkat pertama dan sekolah lanjutan tingkat atas.
Begitu pula
evaluasi dalam pendidikan seharusnya dapat memberikan gambaran tentang
pencapaian tujuan sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang No. 20 tahun
2003. Evaluasi seharusnya mampu memberikan informasi tentang sejauh mana
kesehatan peserta didik. Evaluasi harus mampu memberikan tiga informasi penting
seperti yang dipaparkan oleh McNeil. Selain itupula dalam evaluasi pendidikan
diharapkan dapat memberikan informasi tentang keimanan dan ketakwaan peserta
didik terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan juga dapat meningkatkan kreativitas,
kemandirian dan sikap demokratis peserta didik
Dari paparan di
atas, yang menjadi pertanyaan apakah mutu pendidikan dapat diukur dengan
memberikan ujian akhir secara nasional di akhir tahun ajaran? Apalagi bila
dihadapkan mutu pendidikan dari aspek sikap dan perilaku siswa, apakah bisa
dilihat hanya pada saat sekejap di penghujung tahun? Mutu pendidikan pada
tingkat nasional dapat dilihat dengan berbagai cara, tetapi pelaksanaan UAN
sebagaimana yang dipraktekkan belum menjawab pertanyaan sejauh mana mutu
pendidikan di Indonesia, apakah menurun atau meningkat dari tahun sebelumnya.
Bahkan terdapat indikasi bahwa soal-soal UAN (yang dulu disebut Ebtanas)
berbeda dari tahun ke tahun, dan seandainya hal ini benar maka akibatnya tidak
bisa dibandingkannya hasil ujian antara tahun lalu dengan sekarang. Selain itu
mutu pendidikan tidak mungkin diukur dengan hanya memberikan tes pada beberapa
mata pelajaran ‘penting’ saja, apalagi dilaksanakan sekali di akhir tahun
pelajaran. Mutu pendidikan terkait dengan semua mata pelajaran dan pembiasaan
yang dipelajari dan ditanamkan di sekolah, bukan hanya pengetahuan kognitif
saja. UAN tidak akan dapat menjawab pertanyaan seberapa jauh perkembangan anak
didik dalam mengenal seni, olah raga, dan menyanyi. UAN tidak akan mampu
melihat mutu pendidikan dari sisi percaya diri dan keberanian siswa dalam
mengemukakan pendapat dan bersikap demokratis. Dengan kata lain, UAN tidak akan
mampu menyediakan informasi yang cukup mengenai mutu pendidikan. Artinya tujuan
yang diinginkan masih terlalu jauh untuk dicapai hanya dengan penyelenggaraan
UAN.
Selain itu pula
UAN yang dilakukan hanya dengan tes akhir pada beberapa mata pelajaran tidak
mungkin memberikan informasi menyeluruh tentang perkembangan peserta didik
sebelum dan setelah mengikuti pendidikan. Karena tes yang dilaksanakan di
bagian akhir tahun pelajaran tidak dapat memberikan gambaran tentang
perkembangan pendidikan peserta didik, tes tersebut tidak dapat memperhatikan
proses belajar mengajar dalam keseharian karena tes tertulis tidak dapat
melihat aspek sikap, semangat dan motivasi belajar anak selain itu
pula tes di ujung tahun ajaran tidak dapat menyajikan keterampilan siswa
yang sesungguhnya dan juga hasil tes tidak dapat menggambarkan kemampuan dan
keterampilan anak selama mengikuti pelajaran. Oleh karena itu terjadi
pertentangan antara tujuan yang ingin dicapai dengan bentuk ujian yang
diterapkan, karena pengukuran hasilbelajar tidak bisa diukur hanya dengan
memberikan tes di akhir tahun ajaran saja.
Kedua, tujuan
UAN yang lain dalam Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 153/U/2003
tentang Ujian Akhir Nasional Tahun Pelajaran 2003/2004 adalah untuk mengukur
mutu pendidikan dan mempertanggungjawabkan penyelenggaraan pendidikan di
tingkat nasional, provinsi, kabupaten, sampai tingkat sekolah. Adalah ironis
kalau UAN dipakai sebagai bentuk pertanggungjawaban penyenggaraan pendidikan,
karena pendidikan merupakan satu kesatuan terpadu antara kognitif, afektif, dan
psikomotor. Selain itu pendidikan juga bertujuan untuk membentuk manusia yang
berakhlak mulia, berbudi luhur, mandiri, cerdas, dan kreative yang semuanya itu
tidak dapat dilihat hanya dengan penyelenggaraan UAN. Dengan kata lain, UAN
belum memenuhi syarat untuk dipakai sebagai bentuk pertanggungjawaban
penyelenggaraan pendidikan kepada masyarakat.
Ketiga, jika
dihubungkan dengan kurikulum, maka UAN juga tidak sejalan dengan salah satu
prinsip yang dianut dalam pengembangan kurikulum yaitu diversifikasi kurikulum.
Artinya bahwa pelaksanaan kurikulum disesuaikan dengan situasi dan kondisi
daerah masing-masing. Kondisi sekolah di Jakarta dan kota-kota besar tidak bisa
disamakan dengan kondisi sekolah-sekolah di daerah perkampungan, apalagi di
daerah terpencil. Kondisi yang jauh berbeda mengakibatkan proses belajar
mengajar juga berbeda. Sekolah di lingkungan kota relatif lebih baik karena
sarana dan prasana lebih lengkap. Tetapi di daerah-daerah pelosok keberadaan
sarana dan prasarana serba terbatas, bahkan kadang jumlah guru pun kurang dan
yang ada pun tidak kualified akibat ketiadaan. Kebijakan penerapan UAN dengan
standar yang sama untuk semua sekolah di Indonesia telah melanggar prinsip
tersebut dan mengakibatkan ketidakadilan bagi peserta didik yang tentu saja
hasilnya akan jauh berbeda, sedangkan kebijakan yang diambil adalah menyamakan
mereka.
Keempat, pelaksanaan
UAN hanya pada beberapa mata pelajaran yang dianggap “penting” juga memiliki
permasalahan tersendiri. Sekarang yang terjadi orang akan
beranggapan hanya matematika, bahasa Indonesia, bahasa Inggris dan IPA
yang merupakan mata pelajaran penting. Sedangkan ada diantara kita
anak-anak yang memiliki bakat untuk melukis atau olahraga, mereka akan
meragukan bahwa pelajaran tersebut merupakan pelajaran penting bagi
dia. Sehingga bakat tersebut akan terkubur dengan sendirinya karena yang
ada di benak mereka adalah bagaimana mereka bisa lulus dalam UAN
tersebut. Dengan demikian pelaksanaan UAN hanya pada beberapa mata
pelajaran akan mendorong guru untuk cenderung mengajarkan hanya mata pelajaran
tersebut, karena yang lain tidak akan dilakukan ujian nasional. Hal ini dapat
berakibat terkesampingnya mata pelajaran lain, padahal tidak semua anak senang
pada mata pelajaran yang diujikan. Akibat dari kondisi ini adalah terjadi
peremehan terhadap mata pelajaran yang tidak dilakukan pengujian.
Kelima, tingkat
kreativitas guru empat mata pelajaran tersebut akan terkekang karena dikejar
target untuk menyelesaikan materi.Selain itu pula metode pembelajaran yang
seharusnya bisa disajikan secara menarik dan dikembangkan sesuai dengan
implementasi peserta didik dalam kehidupan sehari-hari tergantikan dengan
metode drill latihan soal dan peserta didik hanya “dicekoki” dengan bagaimana
dapat menjawab soal-soal pada empat mata pelajaran tersebut.
Keenam,
beberapa orang berpendapat bahwa UAN bertentangan dengan kebijakan otonomi
daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999. Hal ini dapat
dipahami sebagai berikut. Kebijakan UAN dilaksanakan bersamaan dengan
dikeluarkannya kebijakan otonomi daerah. Selain itu pada saat yang sama juga
dikenalkan kebijakan otonomi sekolah melalui manajemen berbasis sekolah.
Evaluasi sudah seharusnya menjadi hak dan tanggung jawab daerah termasuk
sekolah, tetapi pelaksanaan UAN telah membuat otonomi sekolah menjadi
terkurangi karena sekolah harus tetap mengikuti kebijakan UAN yang diatur dari
pusat. Selain itu UAN berfungsi untuk menentukan kelulusan siswa. Padahal
pendidikan merupakan salah satu bidang yang diotonomikan, kecuali sistem dan
perencanaan pendidikan yang diatur secara nasional termasuk kurikulum. Di sisi
lain, dengan adanya kebijakan otonomi sekolah yang berhak meluluskan siswa
adalah sekolah melalui kebijakan manajemen berbasis sekolah. UAN telah
dijadikan alat untuk “menghakim” siswa, tetapi dengan cara yang tanggung karena
dengan memberikan batasan nilai minimal 4.25. Dengan menetapkan nilai serendah
itu, maka berarti bahwa standar mutu pendidikan di Indonesia memang ditetapkan
sangat rendah. Kalau direnungkan, apa arti nilai 4 pada suatu ujian. Nilai 4
dapat diartikan hanya 40% dari seluruh soal yang diujikan dikuasai, padahal
secara umum pada bagian lain diakui bahwa nilai yang dapat diterima untuk
dinyatakan cukup atau baik adalah di atas 6. Dengan kata lain, UAN selain
menetapkan standar mutu pendidikan yang sangat rendah telah “menghakimi” semua
siswa tanpa melihat latar belakang, situasi, kondisi, sarana dan prasarana
serta proses belajar mengajar yang dialami terutama siswa di daerah pedesaan.
B.
Evaluasi
Pendidikan Seharusnya dan Meluruskan Kebijakan
Sebagaimana
dikemukakan sebelumnya bahwa UAN banyak bertentangan dengan evaluasi pendidikan
bahkan dengan tujuannya sendiri, sehingga sulit dipertahankan. Seandainya
Pemerintah tetap memilih untuk mempertahankan UAN maka selama itu perdebatan
dan ketidakadilan akan terjadi di dunia pendidikan karena memperlakukan tes yang
sama kepada semua anak Indonesia yang kondisinya diakui berbeda-beda. Selain
itu salah satu prinsip pendidikan adalah berpusat pada anak, artinya pendidikan
harus mampu mengembangkan potensi yang dimiliki anak. Memperlakukan semua anak
dengan memberikan UAN sama artinya menganggap semua anak berpotensi sama untuk
menguasai mata pelajaran yang diujikan, padahal kenyataannya berbeda.
Sebaiknya,
evaluasi sepenuhnya diserahkan kepada sekolah. Sistem penerimaan siswa pada
jenjang berikutnya dilakukan dengan cara diberikan tes masuk oleh sekolah
masing-masing. Dengan cara demikian, maka setiap sekolah akan menetapkan
standar sendiri melalui tes masuk yang dipakai. Sekolah yang berkualitas akan
memiliki tes masuk yang relevan, dan sekolah yang kurang bermutu akan ditinggalkan
masyarakat. Selain itu sekolah yang menghasilkan lulusan yang tidak bisa
menerobos ke sekolah berikutnya juga akan ditinggalkan masyarakat. Dengan
demikian akan terjadi persaingan sehat antar sekolah dalam menghasilkan lulusan
yang terbaik dalam arti dapat melanjutkan ke sekolah berikutnya. Sistem
penerimaan dengan mengacu pada UAN akan berakibat pada manipulasi data, bahkan
membuka peluang terjadinya kecurangan. Pada umumnya sekolah berlomba-lomba
untuk meluluskan siswa-siswanya dengan cara memberikan nilai kelulusan yang
tinggi. Tetapi dengan adanya tes masuk pada sekolah berikutnya (kecuali masuk
SLTP harus lanjut karena masih dalam cakupan wajib belajar), maka sekolah akan
berlomba untuk membuat siswanya disamping lulus juga diterima di sekolah
berikutnya. Selain itu sistem evaluasi yang diserahkan sepenuhnya ke
sekolah juga diperlukan pedoman atau petunjuk teknis. Pedoman untuk melakukan
evaluasi tetap diperlukan dalam memberikan petunjuk bagi guru agar dalam
melakukan evaluasi tetap mengacu kepada kaedah-kaedah evaluasi yang berlaku
secara umum.
Apabila UAN
tetap dipertahankan maka tujuan dan pelaksanaannya harus dimodifikasi dimana
UAN bukan bertujuan untuk menentukan kelulusan siswa tetapi dipakai sebagai
pengendalian mutu pendidikan. Artinya UAN tidak perlu dikaitkan dengan
kelulusan siswa, tetapi untuk mengetahui perkembangan pendidikan pada umumnya.
Dengan tujuan ini maka standar nilai UAN haruslah minimal 6 sebagaimana pada
umumnya dan hanya berpengaruh pada kredibilitas sekolah. Bila suatu evaluasi
mengacu pada hal tersebut di atas maka UAN bukanlah suatu kebijakan yang patut
dipertentangkan lagi.
Oleh karena itu
agar didapat suatu kebijakan nasional yang utuh tentang sistem penilaian
pendidikan maka pemerintah dapat melakukan langkah perumusan ulang kebijakan
UAN dan sistem penilaian tersebut secara komprehensif dengan melakukan
pelurusan kebijakan-kebijakan tersebut. Adapun langkah-langkah yang dapat
ditempuh antara lain pembentukan Tim Perumusan Kebijakan Nasional tentang Penilaian
Pendidikan. Tim ini bisa dibentuk oleh Depdiknas yang BSNP menjadileading
sectornya dan anggotanya bisa berasal dari elemen-elemen masyarakat
pendidikan, termasuk juga DPR Komisi Pendidikan, para pakar pendidikan,
organisasi profesi independen seperti PGRI, LSM pendidikan dan
sebagainya. Kemudian tim tersebut dapat melakukan evaluasi dan kajian
terhadap semua kebijakan yang terkait dengan penilaian pendidikan di negeri ini
misalnya dengan melakukan studi banding ke negara lain untuk mencari model yang
sesuai dengan Indonesia dan kemudian merumuskannya sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku serta melaporkan hasil kerjanya kepada
Pemerintah. Hasil dari kegiatan kajian tersebut akan menghasilkan
butir-butir rekomendasi yang harus dilaksanakan oleh pemerintah dalam bidang
penilaian pendidikan. Adapun kajian-kajian yang dilakukan tersebut dapat
berupa substansi seperti :
1. Pelaksana
tugas penilaian, seperti penilaian formatif, sumatif dan ujian akhir serta
berbagai jenis penilaian lainnya dari tinggkat dasar sampai perguruan tinggi
2. Pengembangan
model-model ujian akhir, penentu kelulusan atau tamat sampai dengan kemungkinan
menggunakan ujian akhir online (online assessment) perlu diantisipasi
dalam era teknologi informasi.
3. Bentuk-bentuk
laporan pendidikan seperti rapor, sistem peringkat, sistem pemberian skor atau
nilai.
4. Apakah
diperlukan adanya standar kelulusan sebagimana telah ditetapkan dalam PP
tentang Standar Nasional Pendidikan?
5. Dan
masih banyak yang lainnya yang perlu dikaji secara mendalam.
Proses kajian
dan evaluasi tersebut akan menghasilkan rekomendasi yang akan menjadi pegangan
utama pemerintah untuk merumuskan dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP).
Terakhir,
pemerintah mengeluarkan PP atau setidaknya Peraturan Menteri tentang sistem
penilaian pendidikan tersebut, untuk kemudian dilaksanakan dimana PP ini secara
komprehensif akan mengatur tentang hal-hal sampai yang terkecil. Setelah
PP dapat diterbitkan maka kebijakan itu harus dilaksanakan secara konsekuen dan
konsisten.
BAB IV
PENUTUP
Begitu banyak pertentangan tentang kebijakan UAN dengan
model evaluasi pendidikan yang seharusnya, tujuan pendidikan nasional maupun
dengan tujuan UAN itu sendiri. Dimana kebijakan UAN kontra produktif bagi
pendidikan nasional dan tujuan yang ingin dicapai menjadi gagal total bahkan
hanya menimbulkan masalah baru. Kecurangan sistematik tidak hanya
mengaburkan pemetaan mengenai kondisi pendidikan nasional tapi juga berdampak
buruk bagi guru dan murid dan juga kreativitas murid terkungkung karena
perhatian dan porsi pembelajaran lebih besar pada mata pelajaran pilihan
pemerintah. Padahal tujuan pendidikan sesungguhnya adalah membentuk
manusia cerdas, penuh kreativitas dan mandiri serta dapat mengatasi segala
persoalan yang dihadapi.
Oleh karena itu pemerintah harus mengkaji ulang tentang
kebijakan UAN ini atau memberikan kepercayaan kepada tim agar dapat melakukan
kegiatannya secara optimal. Dengan cara demikian maka perumusan kebijakan
nasional pendidikan akan berjalan sesuai dengan aspirasi masyarakat dan
menghasilkan kebijakan yang tepat bagi perkembangan bangsa dan Negara di masa
mendatang.
DAFTAR PUSTAKA
Arieh Lewy
(Editor). 1977. Handbook of Curriculum Evaluation. Paris: International
Institute for Educational Planning
McNeil, John D.
1977. Curriculum A Comprehensive Introduction. Boston: Little, Brown and
Company.
Pusat
Pengembangan Kurikulum. 2003. Kurikulum 2004 Kerangka Dasar (draft). Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional.
Soedijarto,
Prof., DR, MA. 1993a. Menuju Pendidikan Nasional Yang Relevan dan
Bermutu.Jakarta: Balai Pustaka.
Soedijarto,
Prof., DR, MA. 1993b. Memantapkan Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Grasindo
Undang-undang
No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Undang-undang
No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
No comments :
Post a Comment